Paparan perwakilan Badan Pusat Statistik (BPS) kepada Komite 3 DPD RI berfokus pada kebijakan penunggalan data sosial ekonomi nasional (DTSEN) pasca arahan Presiden Prabowo dalam rapat kabinet tanggal 30 Oktober 2024 dan penetapan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025. Pembicara—mewakili Kepala BPS yang berhalangan karena mendampingi Presiden di Jepang—menjelaskan mandat utama BPS untuk menetapkan sumber dan jenis data serta pedoman integrasi, yang mengkonsolidasi tiga basis data utama: DTKS (Kemensos) yang berakar pada tradisi pendataan BPS sejak PSE 2008–PPLS–PBDT, P3KE (Kemenko PMK) yang memanfaatkan Pendataan Keluarga BKKBN, dan Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) (BPS, diserahkan ke Bappenas). Integrasi diperkuat dengan data utilitas (PLN, Pertamina, BPJS Kesehatan) dan pemadanan NIK Dukcapil, mengikuti standar statistik dan prosedur deduplikasi yang ketat.
Pada 20 Februari 2025, BPS menyerahkan DTSEN, berisi 285.570.129 individu dan 93.025.360 keluarga (by name, by address), kepada tiga menteri sesuai Inpres: Menko PM untuk intervensi non-bansos, Kepala Bappenas untuk perencanaan, dan Mensos untuk bansos; BPKP dilibatkan untuk pengawasan. Mengakui sifat dinamis data kependudukan, BPS menetapkan siklus pemutakhiran empat kali setahun sejalan dengan penyaluran bansos. Dampak pemutakhiran tercermin pada Mei 2025 (285,8 juta individu; 93.089.414 keluarga) dan 31 Juli 2025 (286 juta individu; 94,2 juta keluarga).
Untuk penargetan, seluruh keluarga (94,2 juta) diklasifikasikan ke dalam 10 desil kesejahteraan menggunakan metodologi proxy means test berbasis 39 variabel (13 individu—termasuk NIK, KK, demografi—dan 26 keluarga—karakteristik fisik rumah, akses air, aset, ternak). Intervensi bansos umumnya menyasar desil 1–4, selaras dengan tingkat kemiskinan sekitar 8,47% yang secara kebijakan sering dilebarkan hingga 10% dan beberapa desil di atasnya.
Transisi dari DTKS ke DTSEN dalam penyaluran bansos menunjukkan perbaikan kualitas data sekaligus memunculkan friksi sosial: Triwulan I 2025 masih menggunakan DTKS; Triwulan II 2025 beralih ke DTSEN, sehingga terjadi penonaktifan sebagian penerima lama. BPS mengurai dua jenis error: inclusion error (penerima berada di desil tinggi, 5–10) dan exclusion error (layak di desil 1–4 tetapi tidak menerima). Dengan dukungan pendamping PKH, verifikasi lapangan diprioritaskan pada inclusion error serta penerima bansos yang NIK-nya dinyatakan tidak aktif oleh Dukcapil—hasilnya menunjukkan banyak NIK tidak aktif yang ternyata orangnya ada, kemungkinan akibat tidak ada transaksi administrasi dalam waktu lama. BPS menekankan bahwa perbedaan antar desil berdekatan (misal 4 vs 5, atau 4 vs 6) tidak selalu tajam, sehingga ground check tetap krusial.
Saat ini, pemutakhiran Triwulan III berjalan dengan sumber ground check Kemensos, data program perumahan FLPP dan BSPS (Kementerian PUPR), serta kontribusi pemerintah daerah (Jawa Barat, Kabupaten Siak, proses Jawa Timur; juga Sumatera Selatan dan Yogyakarta). BPS meminta dukungan DPD RI agar daerah menyerahkan data berbasis NIK, minimal tahun 2024 ke atas, untuk integrasi cepat sehingga daerah aktif memperoleh pembaruan lebih dulu.
DTSEN telah dimanfaatkan lintas kementerian sesuai arahan Presiden agar seluruh intervensi merujuk DTSEN. Contoh aplikatif: Kementerian PUPR memverifikasi kelayakan MBR calon penerima FLPP berdasarkan ambang penghasilan provinsi (contoh Banten: <Rp8 juta untuk belum berkeluarga; <Rp10 juta untuk berkeluarga, dengan catatan angka perlu konfirmasi) dan status desil pada DTSEN; Kementerian pendidikan (Dikdasmen) mengecek Kartu Indonesia Pintar terhadap desil keluarga di DTSEN. Secara metrik, peluncuran perdana DTSEN (20 Februari 2025) mencatat inclusion error 18% untuk penerima di luar desil 1–4, yang turun menjadi 8% setelah pemutakhiran 9 Mei 2025. BPS menyimpulkan bahwa akurasi terus membaik meski error tak dapat dihapus total karena dinamika demografi; oleh sebab itu, pemutakhiran berkala dan verifikasi lapangan harus berlanjut, dengan kolaborasi kementerian dan pemerintah daerah untuk menjaga kualitas dan legitimasi penargetan bantuan sosial.
Transkripsi Paparan Wakil Kepala BPS
Yang kami hormati Bapak-Ibu sekalian, anggota Komite 3 DPD RI, mohon izin pertama-tama kami menyampaikan permohonan maaf dari Ibu Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia karena beliau sedang ada kegiatan bersama Bapak Presiden kemarin di Jepang. Jadi beliau menugaskan saya untuk hadir pada pertemuan yang sangat penting ini. Bapak-Ibu sekalian, terima kasih. Yang pertama, tentunya kami sangat mengapresiasi undangan ini, Pak Ketua, Bapak-Ibu Pimpinan, karena dengan demikian kami bisa menjelaskan bagaimana DTSEN ini dihasilkan. Yang menarik, “DT” adalah data tunggal, “SEN” ibaratnya lampu yang mengarahkan ke mana beloknya agar data ini dihasilkan. Ini diharapkan menjadi acuan bagi seluruh program pemerintah di masyarakat. Kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi atas dukungan Komite 3 DPD RI terhadap BPS RI. Kami juga berharap banyak hal dapat dibahas dan mohon masukan serta arahan.
Pada tanggal 30 Oktober 2024 dalam rapat kabinet, Presiden Republik Indonesia, Pak Prabowo, memberikan arahan kepada BPS untuk melakukan penunggalan data. Selama ini data diintervensi masing-masing kementerian menggunakan datanya sendiri-sendiri. Oleh karenanya, Presiden memerintahkan agar data ditunggalkan. Lalu sesuai dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2025, dilakukan instruksi presiden tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Ada berbagai tugas yang diberikan kepada BPS, sesuai Inpres tersebut. Yang pertama adalah menetapkan sumber dan jenis data serta pedoman integrasi data.
Kementerian Sosial punya DTKS, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Selama ini bansos menggunakan DTKS. DTKS itu sebetulnya lahir dari data BPS. Tahun 2008 kami punya data PSE (Pendataan Sosial Ekonomi), sebelumnya P3K/PSE. Secara definitif ini berada di Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, didukung para direktur. DTKS punya sejarah: dari PSE berkembang menjadi PPLS (Program Pendataan Perlindungan Sosial), dari PPLS menjadi PBDT (Pemutakhiran Basis Data Terpadu), dan dari PBDT menjadi DTKS. Namun DTKS selama ini diupdate berdasarkan usulan masyarakat. Ada sumber data lain, yaitu P3KE. Saat Presiden Jokowi memerintahkan penghapusan kemiskinan ekstrem, harus ada data untuk intervensi. Karena DTKS berada di Kemensos, P3KE dihasilkan oleh Kemenko PMK menggunakan hasil Pendataan Keluarga BKKBN. Diolah jadilah P3KE.
Sumber data lainnya adalah REXOSEC (Registrasi Sosial Ekonomi) yang dikumpulkan oleh BPS dan diserahkan kepada Bappenas. Tiga sumber data ini diintegrasikan. Ada data yang hanya ada di DTKS, tidak ada di REXOSEC atau P3KE; ada yang hanya ada di REGSOSEK; ada yang berasal dari dua sumber; dan ada yang ketiganya ada. Pada saat integrasi kami sangat hati-hati—kalau ada duplikasi kami pilih yang terbaik, kalau tidak ada di satu sumber, diambil dari sumber lain. Setelah tiga data ini di-merge dengan hati-hati, kami juga memperoleh data dari PLN, Pertamina, dan BPJS Kesehatan sebagai tambahan informasi. Semua dipadupadankan dengan data Dukcapil; setiap individu harus punya NIK di Dukcapil. Yang bisa diintegrasikan secara tunggal adalah NIK. Setelah dipadupadankan, ada juga yang ada di Dukcapil tidak ada di tiga data tersebut, atau ada di tiga data tetapi tidak ada di Dukcapil. Kami menerapkan standar statistik sehingga integrasi berjalan cukup rumit, tetapi Alhamdulillah berhasil.
Setelah diintegrasikan, kami memperoleh data 285.570.129 individu penduduk. Dalam konteks keluarga, ada 93.025.360 keluarga di dalam DTSEN, by name, by address. Pada tanggal 20 Februari 2025, tercatat dalam sejarah untuk pertama kalinya kita punya data tunggal untuk sosial ekonomi nasional. Perjalanan intervensi sebelumnya belum pernah punya data tunggal seperti ini. Pada tanggal 20 Februari 2025, data tunggal diserahkan kepada tiga menteri sesuai amanat Inpres: Ibu Kepala BPS menyerahkan kepada Menko PM untuk intervensi non-bansos (kewenangan data non-bansos di Menko PM), kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk perencanaan pembangunan nasional, serta kepada Menteri Sosial untuk intervensi bansos. Kami juga menyerahkan kepada BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk pengawasan dan pengecekan data di lapangan.
Data ini bersifat dinamis. Setiap hari ada yang meninggal, lahir, menikah, pindah, dan seterusnya. Mencapai 100% akurat sulit karena dinamika tersebut. Oleh karena itu, kami melakukan pemutakhiran berkala, empat kali dalam setahun, mengikuti siklus bansos. Jika dimutakhirkan 100% setiap saat, biaya dan sumber daya akan sangat besar. Perkembangan pemutakhiran DTSEN: pada 20 Februari 2025 saat diserahkan, jumlah individu 285,5 juta; pemutakhiran pada Mei 2025 naik menjadi 285,8 juta (ada kelahiran), jumlah keluarga berubah dari 93.025.360 menjadi 93.089.414. Pada 31 Juli 2025, setelah pemutakhiran, individu menjadi 286 juta dan keluarga 94,2 juta. Jadi ada 286 juta penduduk dan 94,2 juta keluarga tercatat di DTSEN.
BPS membagi seluruh 94,2 juta keluarga menjadi 10 kelompok sama besar (desil). Per desil sekitar 9,4 juta keluarga. Desil 1 adalah 10% keluarga dengan kesejahteraan paling rendah; desil 10 adalah 10% paling tinggi. Intervensi bansos biasanya berada di desil 1 sampai desil 4. Jumlah penduduk miskin sekitar 8,47%; dibulatkan 10%—itu di desil 1—namun intervensi pemerintah lebih luas sampai desil 4. Kami menyusun ranking dengan metodologi proxy means test (PMT) menggunakan 39 variabel: 13 informasi individu (NIK, nama, KK, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat, status hubungan keluarga, dsb.) dan 26 informasi keluarga (jumlah anggota keluarga, status kepemilikan rumah, jenis lantai terluas, jenis dinding terluas, sumber air minum utama, dsb.), termasuk kepemilikan aset (tabung gas, lemari es, AC, pemanas air, telepon rumah, TV, ternak besar/kecil). Dengan 39 variabel, kami memodelkan dan mengestimasi pengeluaran rumah tangga, lalu menyusun ranking dari pengeluaran terendah ke tertinggi.
Progres pemutakhiran dan pemanfaatan DTSEN: pada penyaluran Triwulan I (tahap I) 2025, Kemensos masih menggunakan DTKS karena DTSEN belum selesai; pada Triwulan II 2025 Kemensos sudah menggunakan DTSEN. Data DTKS dan DTSEN berbeda; selama ini ada inclusion error (orang menerima manfaat padahal tidak layak karena berada di luar desil 1–4) dan exclusion error (orang berhak tetapi tidak menerima karena ter-exclude). Di DTSEN hal ini terlihat jelas: ada penerima bansos di desil 5, 6, 8, dsb., yang merupakan inclusion error; ada juga yang berada di desil 1–4 tetapi tidak menerima bansos, yang merupakan exclusion error. Ini menjadi tantangan, sehingga data harus semakin berkualitas dan mencerminkan kondisi lapangan. Ketika penyaluran bansos Triwulan I 2025 masih DTKS, Triwulan II menggunakan DTSEN, akhirnya ada yang dikeluarkan dari penerima bantuan, menimbulkan keluhan di lapangan dari mereka yang sebelumnya menerima tetapi kemudian tidak menerima. Karena dinamika cepat, error tidak mungkin dihilangkan sepenuhnya. Oleh karenanya, data harus dimutakhirkan secara berkala.
Cara updating/pemutakhiran membutuhkan sumber daya. Kami didukung Kemensos dengan menurunkan para pendamping PKH di lapangan untuk verifikasi dan validasi terhadap sebagian populasi, misalnya 12 juta keluarga dari 93 juta keluarga pada pemutakhiran tahap 1, sesuai kemampuan. Skala prioritas verifikasi adalah kasus inclusion error: penerima bansos tetapi berdasarkan ranking DTSEN berada di luar desil 1–4. Karena tidak ada 100% kepastian, kami cek lapangan. Antara desil 4 dan 5 sering mirip—masuk desil 5 tidak berarti jauh lebih kaya dari desil 4; desil 6 pun bisa tidak jauh lebih kaya dibanding desil 4. Prioritas untuk memastikan penerima bansos tidak salah dan meminimalkan error. Di lapangan ada yang desilnya memang tinggi, ada yang di sekitar desil 5–6, dan seterusnya. Selain inclusion error, kami juga memverifikasi penerima bansos dengan NIK tidak aktif menurut Dukcapil (Kemendagri menyampaikan ada cukup banyak penduduk dengan NIK tidak aktif dan diragukan keberadaannya). Penerima bansos dengan NIK tidak aktif dicek di lapangan; banyak yang ternyata ada orangnya. NIK tidak aktif biasanya diidentifikasi karena tidak melakukan transaksi dalam waktu lama.
Saat ini kami sedang melakukan pemutakhiran untuk Triwulan 3 berdasarkan ground check teman-teman di Kemensos, serta data dari program perumahan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya) yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, juga data dari daerah seperti Jawa Barat, Kabupaten Siak, dan seterusnya. Daerah yang memiliki data terbaru (minimal 2024 ke atas) menyerahkan kepada kami untuk diintegrasikan dengan DTSEN. Mohon dukungan Komite 3 DPD RI agar daerah mendorong integrasi data mereka berbasis NIK ke DTSEN. Daerah yang aktif, misalnya Jawa Barat, Jawa Timur (dalam proses), Sumatera Selatan, Yogyakarta, akan lebih cepat updatingnya.
DTSEN sudah dimanfaatkan sekarang. Arahan Bapak Presiden dalam berbagai kesempatan (sidang kabinet, rapat kabinet, rapat terbatas) adalah agar intervensi apapun menggunakan DTSEN. Contoh: Kementerian PUPR untuk FLPP dengan syarat penerima MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) per provinsi ditetapkan ambang penghasilannya—misalnya di Banten, untuk yang belum berkeluarga di bawah Rp8 juta, yang sudah berkeluarga di bawah Rp10 juta (contoh, mohon koreksi bila perlu). Kelayakan dicek ke DTSEN: apakah berada di desil rendah dan berhak. Contoh lain: Kementerian Dikdasmen untuk Kartu Indonesia Pintar—data anak diberikan, kami integrasikan dan cek apakah mereka berasal dari keluarga desil rendah. Ke depan beberapa kementerian pasti menggunakan DTSEN, terutama Kemensos. Kami sampaikan bahwa penerima bansos sebelumnya mungkin berada di desil tinggi; kami mohon Kemensos melakukan ground check langsung di lapangan. Jumlahnya besar, jutaan, yaitu mereka yang diasumsikan tidak berhak tetapi menerima. Namun seperti disampaikan, antar desil tidak berarti perbedaan kekayaan ekstrem; desil 6–7 bisa “cukup” tapi tidak “sangat kaya”.
Untuk DTSEN yang pertama kali diluncurkan 20 Februari 2025, proporsi orang yang menerima bansos tetapi menurut pemeringkatan berada di luar desil 1–4 adalah 18% (inclusion error). Setelah pemutakhiran dan perbaikan pada 9 Mei 2025, error tersebut berkurang menjadi 8%. Data bergerak menuju akurasi yang lebih baik, meski dinamika lapangan membuat error tak mungkin hilang sepenuhnya. Demikian, Pak Ketua, yang bisa kami laporkan. Terima kasih atas kesempatan dan perhatian Bapak Ketua, Bapak-Ibu Wakil Ketua, dan Bapak-Ibu anggota DPD RI yang kami hormati. Terima kasih, mohon arahan lebih lanjut. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang.