Agita NurfiantiAgita NurfiantiAgita Nurfianti
  • Berita
  • Profil
  • Galeri
  • Video
  • Link Relasi
Reading: Paparan Dr. Ferry Daud Liando dalam Rapat Dengar Pendapat BULD DPD RI: Analisis Kritis Tata Kelola Desa & Otonomi Daerah
Share
Sign In
Notification Show More
Font ResizerAa
Agita NurfiantiAgita Nurfianti
Font ResizerAa
  • Berita
  • Profil
  • Galeri
  • Video
  • Link Relasi
Search
  • Berita
  • Profil
  • Galeri
  • Video
  • Link Relasi
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2023 Agita Nurfianti, DPD RI Jawa Barat. All Rights Reserved.
Agita Nurfianti > Berita > Rapat Kerja > Paparan Dr. Ferry Daud Liando dalam Rapat Dengar Pendapat BULD DPD RI: Analisis Kritis Tata Kelola Desa & Otonomi Daerah
Rapat Kerja

Paparan Dr. Ferry Daud Liando dalam Rapat Dengar Pendapat BULD DPD RI: Analisis Kritis Tata Kelola Desa & Otonomi Daerah

Tim Admin
Last updated: September 26, 2025 13:36
Tim Admin
Share
23 Min Read
SHARE

Menampilkan paparan utama dari Dr. Ferry Daud Liando dalam sebuah rapat dengar pendapat BULD DPD RI dengan beberapa Narasumber yang dihadiri oleh Ketua Stefanus Liau, Pimpinan Rapat Martin, dan para anggota.

Pembicara membuka dengan penghormatan kepada para pimpinan, menyebut konteks profesionalnya sebagai pengajar di IPDN Manado dan pimpinan di Desa Bersatu, serta menekankan keterbatasan waktu presentasi dibandingkan kedalaman materi pemerintahan desa yang biasanya ia ajarkan selama satu semester.

Nada apresiatif diarahkan kepada DPD atas perhatian terhadap isu-isu desa dan kemampuan mereka mengidentifikasi problematika pasca Undang-Undang Desa, seraya ditegaskan bahwa banyak temuan tersebut telah diprediksi sejak RUU beredar pada 2012, bahkan telah disiapkan konsep mitigasi berupa early warning system oleh kalangan akademik.

Argumen sentral menyoroti ketimpangan antara besarnya kewenangan desa dan lemahnya kelembagaan, kapasitas, serta literasi teknis para penyelenggara. Ketika desentralisasi fiskal mengalirkan dana besar hingga miliaran rupiah, pengelola di tingkat desa kerap tidak memahami akuntansi, perencanaan, dan tata kelola, sehingga risiko korupsi dan salah kelola menjadi sistemik.

Dr. Ferry Daud Liando menilai Undang-Undang Desa memposisikan desa seolah menjadi “daerah tingkat tiga” dengan beban dokumen perencanaan dan penganggaran yang paralel dengan provinsi/kabupaten—RPJMD di ekosistem desa, RKPDES, APBDes, serta pengelolaan BUMDes—namun tanpa dukungan perangkat birokrasi memadai sebagaimana di tingkat daerah.

Pada domain otonomi daerah, pembicara menyatakan pesimisme struktural atas efektivitas penerapannya di Indonesia. Ia menguraikan kontradiksi normatif antara Pasal 1 UUD yang menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pasal 18 yang mengatur pemerintahan daerah otonom—dua konsepsi yang dipandang berakar pada kompromi politik historis antara gagasan sentralistik Soekarno dan gagasan federalistik Hatta.

Di tingkat praktik, penarikan kewenangan-kewenangan teknis oleh pemerintah pusat (misalnya urusan kehutanan dan perizinan) dianggap tidak selaras dengan undang-undang sektoral, tetapi tetap dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga ambivalensi antara sentralisasi dan desentralisasi berkepanjangan. Ditekankan pula dualitas peran gubernur sebagai kepala daerah otonom sekaligus wakil pemerintah pusat sebagai pengejawantahan kompromi tersebut.

Menurut Ferry, keberhasilan otonomi daerah menjadi sangat bergantung pada political will pembuat kebijakan; gejala terbaru seperti penarikan kewenangan pengangkatan PNS dan wacana sentralisasi seleksi pejabat eselon II memperkuat tren resentralisasi.

Dalam kerangka tata kelola desa, Khouriri mengembangkan analisis teoretik berbasis fungsi pemerintahan ala John Locke dengan tesis bahwa kepala desa memikul tiga fungsi sekaligus—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—melalui pelaksanaan kebijakan, penyusunan peraturan desa (perdes), dan kewenangan non-litigasi untuk penyelesaian sengketa adat, termasuk sengketa tanah adat.

Kompleksitas multi-fungsi ini menguatkan urgensi peningkatan kapasitas.

Ia menawarkan rekomendasi institusional yang tegas: pembentukan sekolah atau akademi pemerintahan desa sebagai jalur pra-sertifikasi bagi calon kepala desa. Skema yang diusulkan berupa short course enam bulan dengan kurikulum terstruktur, fasilitator kompeten, dan ujian sertifikasi sebagai prasyarat nominasi.

Tujuan utama adalah membangun merit system, profesionalisme, dan teknokrasi di tingkat desa, menggantikan praktik bimbingan teknis (BIMTEK) ad hoc dan pendampingan yang dinilai tidak efektif, berbiaya mahal, dan sering terkooptasi oleh kepentingan politik.

Lebih lanjut, pembicara menyoroti problem koordinasi antar-kementerian yang mempengaruhi administrasi desa. Tumpang tindih regulasi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa sering memicu keterlambatan anggaran karena disharmoni dokumen (misalnya perbedaan kepatuhan terhadap Permendagri vs Permendes).

Ia mengusulkan pengelolaan kebijakan desa oleh lembaga koordinatif berbentuk badan, bukan kementerian sektoral, untuk meminimalkan ego sektor dan memperkuat integrasi lintas isu sosial, gender, dan kemiskinan yang beririsan di level desa.

Sebagai penutup normatif, Ferry menegaskan desa sebagai miniatur negara. Ketertiban, integritas, dan kebersihan dari korupsi di desa sulit diharapkan jika negara pada tingkat makro tidak memberi keteladanan.

Dengan demikian, perbaikan desa harus dimulai dari “kepala” dan aktor penyelenggara, tidak semata melalui proliferasi regulasi atau kelembagaan baru. Keseluruhan paparan menyajikan kerangka argumentatif yang konsisten: diagnosis kelembagaan dan konstitusional, kritik atas disharmoni kebijakan, serta rekomendasi berbasis meritokrasi dan pendidikan profesional sebagai prasyarat perbaikan tata kelola desa.

 

 

Transkripsi Paparan Dr Ferry Daud Liando

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua. Pak Ketua Stefanus Liau yang saya hormati, saya banggakan Pak Martin, Pimpinan Rapat, serta para pimpinan yang ada di depan. Para anggota dan kita semua yang hadir. Ini saya bangga diapit oleh dua pimpinan saya ini, Pak Ketua.


Oke, pertama tentu saya apresiasi, apresiasi karena teman-teman DPD punya perhatian khusus terkait dengan permasalahan di desa. Karena ini desa, sebetulnya tadi Pak Rektor sudah mengatakan, ini sebetulnya identitas kita, identitas kita yang memang menjadi sebuah kekayaan yang harus kita pelihara di negara ini.

Kemudian yang kedua, sebetulnya teman-teman DPD sudah berhasil mengidentifikasi permasalahan-permasalahan di desa, apalagi pasca ada undang-undang desa.

Walaupun sebetulnya bagi kami—saya dengan Pak Rektor pasti akan mengatakan—apa yang ditemukan oleh DPD ini sebagian memang ada yang baru, casenya baru ditemukan sekarang, tetapi apa yang ditemukan hari ini itu sudah diprediksi sebelum undang-undang ini mau diterapkan.

Kita kan 2012 ketika RUU ini beredar di kampus, kita sudah baca. Feeling kita sebagai akademik, kalau ini tidak diubah, yang akan mau terjadi kelainan seperti ini. Malah waktu itu kami bikin sebuah konsep mitigasi early warning system: kalau misalnya konsep ini yang mau digunakan, kemungkinan besar yang akan mau terjadi seperti apa, dan kemudian… Apa yang sudah diuraikan oleh teman-teman DPD itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi kami.

Mau dikatakan bahwa sebagian besar desa belum maju karena pertama soal kelembagaannya. Itu benar, itu sudah kita prediksi. Apalagi orang yang belajar soal organisasi tahu soal ini: diberikan kewenangan yang sangat besar, tetapi institusi dan kelembagaan itu terbatas dalam pengelolaannya, dalam hal pengambilan keputusan.

Dampaknya akan seperti ini. Kalau ngomong bilang korupsi di desa akan muncul, itu sudah ratusan juta miliaran, sementara yang mengelola itu orang belum paham soal akuntansi, tidak paham soal perencanaan, pasti akan jadi begini.

Ini pakem sebuah tradisi yang terjadi dalam sebuah organisasi. Jadi kita memang harus berhati-hati. Silakan, bangga kita kalau punya kewenangan besar, punya kekuasaan besar, tetapi kita dibatasi.

Dibatasi dalam perencanaan, mengeksekusi, maupun dalam hal pengawasan. Dan ini sudah terjadi. Apalagi kalau kita melihat undang-undang desa yang baru itu sudah memposisikan kalau di daerah itu desa itu seperti daerah tingkat tiga.

Kenapa daerah tingkat tiga? Gubernur ngurusin RPJMD, kepala desa juga bikin RPJMD; gubernur bupati bikin RKP, di desa juga ada RKPDES; gubernur bupati bikin APBD, kepala desa juga bikin APBDes; ngurus BUMD, ada juga BUMDes.

Sama, malah lebih ribet kepala desanya, karena kalau kepala daerah itu didukung oleh perangkat-perangkat daerah yang lengkap: bagian-bagiannya, ada perencanaannya, ada keuangannya.

Tapi kalau di desa, perangkat-perangkatnya, kelembagaannya itu sangat-sangat lemah. Belum lagi dengan pendidikannya, pengalamannya, soal kapasitasnya, soal kemampuan sosio-kulturalnya, itu sangat-sangat lemah.

Apalagi untuk menjadi kepala desa itu sepertinya memang dimudahkan oleh aturan.

Bayangkan kewenangan yang begitu besar, dia tidak ada mekanisme soal sistem merit. Siapa saja yang punya—silakan, yang punya uang, atau mungkin banyak keluarganya di kampung—mudah jadi kepala desa, tetapi tidak diuji soal kapasitas.

Sistem merit misalnya tidak ada konsep sertifikasi. Jadi sertifikasi itu dia itu pra, jadi sebuah pendidikan untuk mempersiapkan dia dalam rangka untuk mendapatkan tugas-tugas tertentu.

Nah, di undang-undang kita tidak dipersiapkan seperti itu.

Kewenangannya besar tetapi orang yang mengelola itu tidak dipersiapkan. Nah, ini yang diidentifikasi oleh DPD, penyebabnya ini, faktor-faktor yang memang tidak dipersiapkan dari awal. Terima kasih.

Kemudian, soal otonomi daerah. Karena saya juga diminta bicara otonomi daerah.

Ini saya salah satu yang masuk kategori orang yang pesimis kebijakan otonomi daerah itu akan berhasil diterapkan di Indonesia.

Kita jangan melihat: kok kenapa Australia bisa ya? Kok kenapa Amerika bisa? Kenapa negara-negara lain bisa?

Nah, kalau kita di Indonesia itu salah satu negara yang unik ya. Salah satu negara yang paling unik di dunia. Karena kita itu negara yang satu-satunya menerapkan dua bentuk pemerintahan.

Ini mungkin barangkali Bapak-Ibu belum pernah kita diskusikan.

Dan ini kerap bermasalah.

Bentuk pemerintahan itu di Pasal 1. Kita itu berbentuk Negara Kesatuan Republik.

Di Pasal 1. Kemudian, di Pasal 18, itu ada pemerintahan daerah otonomi.

Bapak-Ibu sekalian, teori ini sebetulnya—dua pasal ini sebenarnya teori yang—teori yang saling berbenturan.

Negara kesatuan cirinya apa? Negara kesatuan itu penjelmaan dari negara monarki sebetulnya.

Kesatuan itu memang pengambilan keputusan terpusat; rakyatnya itu hanya sekedar objek dia. Itu ciri negara kesatuan.

Coba belajar: negara kesatuan itu dia miniatur dari, atau penjelmaan dari negara monarki sebetulnya; pengambilan keputusan memang kokoh terpusat.

Kemudian kalau daerah otonom, dia sebetulnya ciri dari apa? Negara federal.

Sama, cuma ada negara ya.

Negara itu punya kewenangan yang tersisa—misalnya luar negeri, fiskal, dan segala macam—sisanya diberikan kepada negara-negara bagian.

Nah, ini yang menjadi kelemahan kita karena memang konstitusi kita itu ternyata buah dari… Sama juga ternyata kompromi-kompromi politik itu bukan baru terjadi sekarang.

Kompromi-kompromi politik bukan hanya terjadi sekarang dalam rangka pembuat undang-undang.

Saya ingat juga dulu waktu Undang-Undang Pilpres dibuat, komprominya cukup tinggi. PDIP minta kalau boleh syarat presiden itu cukup SMA saja, karena calonnya itu yang dipersiapkan itu karena tidak punya gelar pada waktu itu.

PKB juga minta kalau boleh syarat fisik itu tidak persoalkan, karena calonnya juga bermasalah secara fisik.

Kemudian Golkar juga bilang, sudah narapidana dihapus saja. Kalau boleh tetap narapidana maju, karena juga calonnya itu punya masalah hukum.

PAN juga ngomong, kalau boleh semua partai boleh masuklah jadi calon.

Makanya keluar lah parliamentary threshold.

Jadi ini kompromi: melihat orang kemudian itu yang dijadikan sebuah policy.

Sama juga dengan undang-undang pemilu.

Kita negara presidensial tetapi kok multipartai? Ini perbenturan sebetulnya. Ini karena hasil dari kompromi.

Ternyata kompromi politik-politik dagang sapi seperti ini, sejarahnya sudah ada.

Kenapa ada Pasal 1 negara kesatuan?

Kenapa ada Pasal 18 pemerintahan daerah? Karena itu kompromi antara Pak Hatta dengan Pak Soekarno.

Sorry, bersejarah sedikit ya Bapak-Ibu. Sebelum diproklamasikan, berdebat antara Soekarno dengan Hatta tentang bentuk negara.

Soekarno maunya monarki. Pak Soekarno bilang begini: kenapa monarki? Karena kita banyak sekali kerajaan.

Nah, kalau kita tidak monarki bisa saja kita terpecah belah. Jadi, kekuasaan harus terpusat. Apalagi Indonesia itu bukan negara-negara benua, tetapi kepulauan, yang bisa saja kalau misalnya dia itu dibagi-bagi kekuasaan bisa saja terpecah belah.

Dan ternyata juga prediksi Pak Soekarno betul. Uni Soviet ini terpecah karena apa? Karena memang kekuasaan dibagi pada negara-negara bagian. Uni Soviet itu kan karena apa? Dia tidak terpusat; kekuasaan dibagi pada negara-negara bagian.

Nah, itu pemikiran Soekarno pada waktu itu.

Hatta lain. Hatta bilang begini: cocoknya negara kita itu federal.

Bentuk pemerintah kita itu federal.

Kenapa? Karena kita itu kepulauan, etniknya banyak. Makanya kita kasih kesempatan lah daerah-daerah itu mandiri, buat kebijakan sendiri dan segala macam. Tinggal ada kewenangan-kewenangan yang terpusat, seperti politik luar negeri, fiskal, dan segala macam.

Gak jelas terjadi kelompok-kelompok, geng-geng, antara pendukung Hatta kemudian pendukung Pak Soekarno, dan itu tergambar pada kelompok yang di PPKI yang dipersiapkan oleh negara untuk menyusun konstitusi.

Ternyata juga: satu sisi kita negara kesatuan—penjelmaan dari monarki—kemudian pasal… itu adalah pemerintahan otonomi daerah—penjelmaan dari federal.

Jadi dua konsep di satu, tapi bermasalah hari ini.

Kita sudah ada otonomi daerah tetapi kewenangan-kewenangan itu ditarik ke pusat semua: kehutanan sampai dengan kerikil-kerikil kecil ditarik ya; mengolah izin-izin sampai dengan hal-hal kecil ditarik ke pusat semua.

Apakah itu salah?

Memang undang-undang kita langgar, tetapi kalau kita gugat ke MK, tetap MK mengakui kebenaran itu, karena itu konstitusional.

Jadi, saya katakan saya pesimis kalau otonomi daerah itu betul-betul bisa efek, karena memang kita mau ke kiri tidak salah, mau ke kanan juga tidak salah, karena memang undang-undang mengatur kita demikian.

Jadi jangan pernah berharap otonomi daerah itu jadi di kita; tidak akan pernah mungkin mau terjadi.

Kalau juga semua, pemerintah pusat muamil semua tergantar: masuk pengangkatan kepala daerah, termasuk juga pemilihan dan segala macam, gak ada masalah, karena konstitusi mengatakan begitu.

Walaupun sekarang ada jalan tengah, ya makanya ada gubernur.

Gubernur itu punya peran dua: dia sebagai pejabat daerah otonom dan dia sebagai pejabat wakil pemerintah pusat di daerah.

Nah, itu uniknya kita di Indonesia.

Sangat-sangat unik.

Makanya kalau saya tanya apakah otonomi daerah itu akan berhasil, itu akan sulit. Itu tergantung pada political will—kemauan politik—bagi pembuat-pembuat kebijakan.

Apalagi sekarang coba lihat UPT-UPT itu sekarang kan will-kan, willnya sudah banyak di daerah.

Katanya daerah itu tidak mampu, tidak cakap, dan segala macam. Akhirnya semua kebijakan pengangkatan PNS, ya semua ditarik. Ya apalagi ada lagi wacana pengangkatan pejabat eselon 2 itu, sudah mau ditarik, sudah mau diambil oleh presiden.

Mau bilang apa ya? Mungkin berseberangan dari undang-undang otonomi daerah, tetapi tidak salah juga secara konstitusi, karena memang konstitusi mengatakan kita begitu.

Jadi unik. Jadi kalau mau ditanya seberapa jauh efektivitas otonomi daerah itu, jangan ditanya.

Nggak akan pernah selesai kita. Nggak akan pernah tuntas.

Kemudian, teman-teman DPD juga diuntungkan dengan adanya mekanisme seperti ini. Itu kan kenapa, kalau senator itu wakil negara bagian.

Kalau begitu kita langsung saja ke semacam rekomendasi lah.

Ini tadi saya tinggal mempertegas apa yang disampaikan oleh Pak Rektor tadi. Ini begini: saya katakan, kepala desa itu kan perangkat daerah, kewenangannya begitu luas ya, sangat-sangat luas.

Kemudian saya katakan, lebih-lebih padat tugasnya dari seorang bupati sebetulnya, ya, dengan tugas-tugas.

Kalau kita di Indonesia sebetulnya, kalau presiden itu—kalau teori John Locke itu ya—fungsi-fungsi pemerintahan presiden itu hanya menjalankan satu ya, yang paling kuat eksekutif.

Kemudian ada tugas-tugas legislasi, ya, karena dia itu membuat undang bersama-sama dengan DPR.

Kalau bupati, cuma eksekutif.

Ya, perda itu bukan legislasi sebetulnya.

Ya, peraturan daerah itu bukan produk legislasi.

Itu ya, dia itu peraturan daerah berbeda dengan legislasi.

Makanya bupati itu, kepala daerah itu hanya menjalankan pure eksekutif.

Tapi kepala desa—ya fungsi pemerintahan John Locke itu—dia menjalankan tiga-tiganya: fungsi eksekutif, fungsi legislatif, dan fungsi yudikatif.

Apa contohnya?

Fungsi eksekutif: ya dia pelaksana.

Fungsi legislatif: dia juga membuat perdes, peraturan desa, dan segala macam.

Fungsi yudikasi bagaimana? Undang-undang mengatakan, kepala desa juga bisa menangani peradilan non-litigasi.

Peradilan itu ada dua macam: ada peradilan litigasi dan peradilan non-litigasi.

Non-litigasi itu adalah menangani sengketa. Ada hal-hal yang tidak bisa ditangani oleh APH—hukum adat misalnya. Kalau hukum adat kan nggak bisa APH masuk.

Tetapi ada yang dinamanya sengketa non-litigasi, itu bisa ditangani.

Bayangkan, kepala desa juga bisa menjalankan fungsi peradilan.

Dia menangani sengketa tanah—tanah adat misalnya—itu diberikan kewenangan oleh kepala desa.

Luar biasa kepala desa ini punya peran.

Pertanyaan: bagaimana kita mempersiapkan kepala desa yang cakep? Ini saya mengusulkan—mungkin tidak populer tetapi mungkin ini yang paling ideal menurut saya, salah satu ideal ya.

Pernah enggak Bapak-Ibu sekalian memikirkan kita membentuk semacam lembaga pendidikan atau akademi atau sekolah pemerintahan desa?

Kalau IPDN itu kan—apa namanya itu—dia sudah jadi perangkat negara. Jadi dia pendidikan profesi.

Tapi ini dipersiapkan khusus di desa. Jadi ini sebetulnya kalau mau ditanya biaya, sebetulnya ini yang paling efektif daripada kita bikin kegiatan-kegiatan BIMTEK.

BIMTEK kadang-kadang cuma ambil foto, pulang.

Enggak selesai, enggak jelas materinya, enggak jelas siapa fasilitatornya, enggak jelas outcome yang didapatkan dari BIMTEK itu.

Kadang-kadang BIMTEK itu cuma dalam rangka untuk supaya serapan anggaran itu bisa terpakai. Tapi manfaatnya tidak ada sama sekali.

Kemudian BIMTEKnya, masuk akal tidak? Pemerintahan sementara berjalan, kepala desa sementara berjalan, kemudian BIMTEK sementara tugas-tugas kepala desa cukup padat, tapi di satu sisi dia belajar. Masuk akal tidak?

Dia sudah sementara menjalankan pemerintahan, terus dia diedukasi. Itu makan waktu.

Makanya kemudian biaya-biaya untuk tenaga pendamping. Tenaga pendamping juga banyak tidak efektif. Dia lulusan SMA, dia mengajari kepala desa yang sudah pengalaman panjang untuk mengurus desa.

Kadang-kadang juga tenaga pendamping itu mengurus bukan hanya satu desa.

Tidak akan pernah efektif, tapi berbiaya mahal. Banyak juga orang-orang partai yang ditempatkan di sana.

Oleh karena itu sebetulnya, apa yang dimaksud dengan sekolah penyelenggara pemerintahan, itu diajarkan soal fungsi-fungsi perangkat desa.

Banyak kepala desa tidak tahu menyusun RKPDES, tidak tahu menyusun perdes, tidak tahu mengelola BUMDes, tidak tahu menangani konflik, tidak bisa mengambil keputusan, tidak bisa membuat perencanaan, tata kelola keuangan tidak bisa.

Kenapa itu kita tidak latih? Mereka sekitar 6 bulan, mereka short course itu.

Ada fasilitator, ada kurikulumnya.

Kurikulum sebagian sudah saya diskusikan dengan Pak Ketua—apa kurikulumnya—jadi ada kurikulumnya.

Setelah 6 bulan di sekolah, kemudian ada ujian.

Kalau dia ujian, kita kasih rekomendasi, ada sertifikasi layak untuk dinominasikan untuk calon kepala desa. Jadi ada pra, ada pra-pemilihan di sana, ada konvensi di sana.

Jadi ini bukan pelanggaran HAM sebetulnya, tapi mengurus desa itu adalah orang-orang yang profesional, tidak sembarangan. Cuman sekedar punya uang, banyak keluarganya, terpilih jadi hukum tua, tetapi teknokrasinya tidak ada, kapasitasnya tidak ada.

Jadi coba dipikirkan: kalau boleh calon-calon kepala desa itu ada sertifikasinya. Sertifikasi bahwa dia itu pantas, layak, sudah boleh untuk dicalonkan. Jangan sampai dia—kalau tidak demikian—jangan sampai juga dia jadi beban negara. Banyak uang yang dia kelola, tetapi dia tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

Kemudian, ini usai potong-potong ya. Ini juga yang jadi masalah, Pak. Ini dulu waktu kita bikin di daerah itu, perangkat daerah. Perangkat daerah, berapa perangkat daerah, kemudian penamaan.

Saya tahu apa yang tepat untuk kita bikin dinas dan apa yang tepat kita bikin badan. Nah, ternyata juga isu itu sampai juga di tingkat kementerian. Nah, kelemahan kita selama ini sebetulnya: karena desa itu tidak hanya diurus oleh satu kementerian, yaitu PU.

Pertanyaan pertama: bagaimana menurut Anda? Sosial, perempuan, kemiskinan, segala macam itu kan semua ke desa semua.

Saya kira kalau misalnya dia diurus oleh kementerian, ego sektoral itu akan muncul.

Saya pernah mengusulkan, harusnya memang—saya setuju desa itu diurus secara terpadu tetapi tidak dalam bentuk kementerian.

Harusnya dia hanya sebatas pada lembaga yang sifatnya koordinatif: badan.

Cukup hanya dia badan, karena banyak yang berkepentingan terhadap desa.

Nah kalau dia jadi kementerian seperti sekarang, Kementerian Dalam Negeri bikin aturan, Kementerian Desa juga bikin aturan.

Ini yang bikin kacau di desa, karena peraturan berbeda-beda. Coba lihat, banyak kan anggaran terlambat masuk karena dokumen bermasalah.

Ada yang ikut Permendagri, ada yang ikut Permendes.

Ini jadi masalah. Karena terlalu banyak kementerian-kementerian yang berkepentingan, mengakibatkan juga perencanaan di desa menjadi bermasalah.

Kemudian yang terakhir, Bapak-Ibu sekalian, bagaimana kita mengharapkan desa ke depan.

Saya katakan: desa itu adalah miniatur negara.

Jadi negara itu harusnya memberikan keteladanan.

Ini barangkali pesan-pesan kita, karena sebagai seorang intelektual membawa peradaban.

Kita jangan pernah berharap desa sempurna kalau pengelolaan negara itu tidak sempurna. Jangan berharap desa-desa itu bersih dari korupsi kalau negara ini tidak bersih dari korupsi.

Jadi, oleh karena itu, bagaimana kita memperbaiki desa itu harusnya memperbaiki dari kepalanya, dari aktor-aktor penyelenggaranya. Jadi keteladanan di sana.

Jadi sebetulnya memperbaiki desa itu bukan hanya membuat banyak kebijakan, membuat banyak lembaga negara.

Keteladanan itu juga penting.

Jadi kalau misalnya korupsi itu masih merajalela di negara, jangan berharap juga korupsi di desa itu akan menjadi lebih bersih.

Makasih, Pak Ketua.

You Might Also Like

Pemaparan Pimpinan BNN Komisaris Jenderal Polisi Suyudi Ario Seto dihadapan Komite III DPD RI

Cegah Mahasiswa Bundir dan Putus Kuliah, Senator Agita Nurfianti Minta Mendiktisaintek Bentuk Bimbingan dan Konseling di Universitas

Laporan Analitis Mengenai Peran Tenaga Ahli dan Komunikasi Publik dalam Kinerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

Paparan Wakil Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Wakil Kepala BPS RI, Sonny Harry Budiutomo Harmadi kepada Komite III DPD RI terkait kebijakan penunggalan data sosial ekonomi nasional (DTSEN)

Penyerapan Aspirasi di Panti Asuhan Baitussyukur, Komp Margahayu Raya, Kota Bandung

TAGGED:akademi pemerintahan desaBULD DPD RIBumdescalon kepala desadana desadisharmoni regulasi desaDPD RIFerry Daud LiandoJohn Locke fungsi pemerintahankapasitas aparatur desaKemendagriKemendeskorupsi desamerit system desaotonomi daerahpaparan ahli desaperaturan desaresentralisasi kewenangantata kelola desatata kelola pemerintahan desaUU Desa
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Threads Email Copy Link Print
Share
Previous Article Paparan Dr. Halilul Khairi, M.Si. Tentang Evaluasi Otonomi Desa
Next Article Paparan Wakil Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Wakil Kepala BPS RI, Sonny Harry Budiutomo Harmadi kepada Komite III DPD RI terkait kebijakan penunggalan data sosial ekonomi nasional (DTSEN)
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Stay Connected

2kSubscribersSubscribe
4kFollowersFollow
25FollowersFollow

Latest News

Senator Agita Reses DPD RI di Bojongsoang | Aspirasi Warga Soal DTSN, Pendidikan, Kesehatan & Identitas Lokal
Reses DPD RI di Bojongsoang | Aspirasi Warga Soal DTSN, Pendidikan, Kesehatan & Identitas Lokal
Aspirasi Warga Oktober 7, 2025
Senator Agita Beri Bantuan Wirausaha untuk Dukung Pemulihan Korban NAPZA
Senator Agita Serahkan Bantuan untuk Dukung Pemulihan Korban NAPZA
Press Release Oktober 7, 2025
Pertemuan warga RW 16 Bilabong, Kabupaten Bogor bersama Agita Nurfianti, S.Psi (DPD RI, Komite III)
Forum Dengar Pendapat RW 16 Komplek Perumahan Bilabong dengan Ibu Agita Nurfianti, S.Psi. (DPD RI, Komite 3)
Aspirasi Warga Oktober 5, 2025
SPMB 2025 & Revisi RUU Sisdiknas: Aspirasi Agita Nurfianti & Respons Kemendikdasmen
Rapat Kerja September 30, 2025
PaparanMenteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bapak Abdul Mu'ti terkait Sistem Penerimaan Murid Baru dan Revisi UU Sisdiknas
Paparan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bapak Abdul Mu’ti terkait Sistem Penerimaan Murid Baru dan Revisi UU Sisdiknas
Rapat Kerja September 30, 2025
Waktunya Mepet, Senator Agita Sampaikan Aspirasi Daerah Terkait SPMB ke Kemendikdasmen
Press Release September 29, 2025
Paparan Kepala Badan POM Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., MD., Ph.D kepada Komite III DPD RI
Rapat Kerja September 26, 2025
Senator Agita Soroti Perlindungan Akses Pendidikan dan Keamanan Pangan Anak Sekolah
Rapat Kerja September 24, 2025
Pemaparan Wamensos Agus Jabo Priyono Dorong Sekolah Rakyat di Daerah untuk Hapus Kemiskinan Ekstrem
Rapat Kerja September 24, 2025
Kesalahan Data Sebabkan Bansos Salah Sasaran, Senator Agita Minta Perbaiki Akurasi Data
Press Release September 23, 2025
Agita NurfiantiAgita Nurfianti
Follow US
© 2023-2029 Agita Nurfianti, DPD RI Jawa Barat.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?