Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai pengawasan dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), seorang narasumber utama dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyampaikan analisis komprehensif mengenai kondisi, tantangan, dan progres implementasi sertifikasi halal di Indonesia. Paparan ini ditujukan kepada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), termasuk Bapak Dai, Bapak Donald, dan Ibu Erni, sebagai respons atas pertanyaan dan isu yang berkembang di masyarakat.
Kerangka Regulasi dan Mandat Sertifikasi Halal
Narasumber mengawali paparannya dengan menegaskan kembali landasan hukum utama penyelenggaraan JPH, yaitu Undang-Undang No. 33 Tahun 2014. Secara khusus, Pasal 2 dari undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Definisi “produk” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 mencakup spektrum yang luas, meliputi makanan, minuman, obat, kosmetik, hingga barang gunaan seperti produk kulit (tas), tekstil, dan alas kaki. Penekanan pada cakupan produk yang komprehensif ini menjadi dasar bagi urgensi pelaksanaan sertifikasi secara menyeluruh.
Paradoks Pasar Halal Indonesia: Potensi Besar, Realisasi Rendah
Sebuah argumen sentral yang dikemukakan adalah bahwa posisi Indonesia yang belum optimal di pasar halal global bukan disebabkan oleh ketiadaan produk halal, melainkan karena kurangnya “tertib halal” atau disiplin dalam melakukan sertifikasi. Narasumber memaparkan data yang menunjukkan diskrepansi signifikan antara potensi dan realisasi. Dari total nilai transaksi pasar halal global yang mencapai sekitar Rp21.000 triliun per tahun (periode Januari-Desember), Indonesia hanya mampu mencatatkan transaksi sebesar Rp673 miliar. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia belum menjadi pemain utama dalam industri yang seharusnya menjadi keunggulannya.
Secara peringkat global, Indonesia saat ini berada di posisi kedelapan, jauh di bawah Tiongkok (peringkat pertama), Brasil (kedua), dan Amerika Serikat (ketiga). Narasumber memberikan catatan khusus mengenai Brasil, yang sebagian besar volume ekspornya berasal dari fasilitas produksi yang berlokasi di Timur Tengah, bukan murni dari dalam negeri Brasil. Fakta ini menggarisbawahi bahwa ketertiban administrasi dan sertifikasi menjadi kunci untuk mendominasi pasar.
Menanggapi kasus spesifik yang diangkat oleh Bapak Dai mengenai temuan produk mengandung babi, narasumber memberikan klarifikasi penting. Kasus tersebut tidak melibatkan produk dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh otoritas Indonesia, melainkan produk yang menggunakan label halal dari luar negeri. Klarifikasi ini krusial untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem sertifikasi halal nasional.
Kinerja BPJPH dan Progres Sertifikasi UMKM
Sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan JPH, BPJPH memiliki tugas dan fungsi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2004. Fungsi tersebut mencakup perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan, koordinasi, pembinaan, hingga pengawasan. Meskipun demikian, tantangan terbesar terletak pada skala implementasi, terutama di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mendominasi struktur ekonomi Indonesia (sekitar 90% dari total pelaku usaha).
Dari total 66 juta pelaku UMKM di Indonesia, baru sekitar 3 juta yang telah terdaftar dalam sistem sertifikasi halal. Meskipun angka ini masih kecil, narasumber menyatakan bahwa upaya masif yang melibatkan 9 kementerian, 3 badan, 84 jaringan lembaga pemeriksa halal (LPH), dan ratusan ribu pendamping proses produk halal (P3H) telah menunjukkan hasil positif. Hingga tahun 2025, telah diterbitkan sebanyak 2.204.000 sertifikat halal yang mencakup 3,7 juta produk yang dideklarasikan.
Tahapan Implementasi Wajib Halal dan Tantangan ke Depan
Implementasi kewajiban sertifikasi halal dilakukan secara bertahap. Hingga akhir tahun 2024, fokus utama adalah pada produk makanan, minuman, dan hasil sembelihan. Tahapan selanjutnya akan memperluas cakupan secara signifikan:
1.Mulai tahun 2026:Kewajiban sertifikasi akan diperluas ke produk obat tradisional, suplemen kesehatan, dan kosmetik (termasuk sabun, sampo, deodoran). Perluasan ini diproyeksikan akan meningkatkan beban kerja hingga 3,5 kali lipat dari kapasitas saat ini.
2. Mulai tahun 2029:Kewajiban akan mencakup obat bebas dan alat kesehatan yang bersentuhan langsung dengan tubuh.
3. Mulai tahun 2034:Tahapan terakhir akan mencakup obat keras.
Antisipasi terhadap tahapan ini sudah mulai terlihat dari pelaku industri, termasuk pihak internasional seperti American Chamber (AmCham), yang telah proaktif mempersiapkan diri untuk memenuhi kewajiban sertifikasi pada tahun 2029. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya sertifikasi halal semakin meningkat, tidak hanya sebagai kewajiban regulasi tetapi juga sebagai standar kualitas dan akses pasar. Paparan diakhiri dengan seruan untuk dukungan dari semua pemangku kepentingan, termasuk DPD, guna mengakselerasi “tertib halal” dan mewujudkan potensi Indonesia sebagai pemimpin pasar halal global.