Dalam sebuah rapat koordinasi yang diselenggarakan di Kantor DPD, para pemangku kepentingan dari Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Jawa Barat, Agita Nurfianti, S.Psi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, BP2MI Jawa Barat, serta pejabat terkait seperti Bapak T.P., Bapak Kombes Polisi Mulia Nugraha, dan Bapak Fredy A Situmorang, berkumpul untuk membahas inventarisasi materi pengawasan atas implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Agenda utama pertemuan berfokus pada dua aspek krusial: mekanisme penempatan PMI pada sektor formal dan strategi pencegahan penempatan PMI secara non-prosedural atau ilegal. Isu ini dinilai memiliki signifikansi tinggi, terutama dengan adanya perkembangan dinamika ketenagakerjaan internasional, seperti rencana pembukaan kembali penempatan 200.000 tenaga kerja ke Arab Saudi yang diprakarsai oleh Bapak Prabowo, serta permintaan tenaga kerja dari Jepang. Peluang ini, meskipun signifikan secara ekonomi, diiringi dengan kekhawatiran akan dominasi sektor non-formal yang menuntut penguatan mekanisme pelindungan secara lebih komprehensif, berbeda dengan penempatan terstruktur ke Hong Kong, Korea, atau Jepang.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui sinergi antara Disnaker dan BP2MI, telah menerapkan kerangka kerja pelindungan PMI yang holistik dan terstruktur dalam tiga fase: pra-penempatan, selama penempatan, dan purna-penempatan. Pada fase pra-penempatan, fokus utama adalah pada tindakan preventif melalui pengawasan ketat terhadap lembaga penempatan dan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk mencegah penipuan, serta pencegahan aktif pemberangkatan non-prosedural melalui operasi intelijen yang pernah berujung pada penggerebekan lokasi penampungan ilegal di Apartemen Kalibata dan pencegahan di titik keberangkatan seperti Bandara Kertajati. Selama masa bekerja, layanan difokuskan pada penanganan pengaduan dari PMI maupun keluarga, fasilitasi klaim asuransi, dan layanan re-entry. Pada fase purna-penempatan, layanan mencakup kepulangan dari debarkasi hingga daerah asal, termasuk penyediaan ambulans untuk jenazah dan rujukan ke fasilitas kesehatan seperti RS Polri Kramat Jati. Selain itu, pemerintah memfasilitasi pemenuhan hak-hak PMI yang tertunda, memberikan pendampingan hukum, serta menyelenggarakan program pemberdayaan ekonomi bagi PMI Purna melalui pelatihan kewirausahaan.
Secara statistik, Jawa Barat merupakan provinsi pengirim PMI terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, namun ironisnya menempati peringkat pertama dalam jumlah kasus permasalahan, dengan 2.194 kasus tercatat pada tahun 2019. Daerah seperti Kabupaten Indramayu, Cirebon, Karawang, Cianjur, dan Sukabumi diidentifikasi sebagai “kantung PMI” utama. Fenomena khusus teridentifikasi di Cianjur dan Sukabumi, di mana terjadi pengiriman PMI secara unprosedural yang signifikan ke sektor pekerja domestik di Timur Tengah, yang tidak tercatat dalam data resmi. Kerentanan ini diperparah oleh fakta bahwa hampir 80% PMI asal Jawa Barat memiliki tingkat pendidikan rendah. Menghadapi realitas ini, Jawa Barat secara proaktif telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Daerah Provinsi Jawa Barat, yang mendahului peraturan pemerintah pusat dan bertujuan menciptakan ekosistem migrasi yang reguler (regular migration) melalui mandat pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah maraknya migrasi non-prosedural, yang menurut analisis pejabat terkait, justru diperburuk secara paradoksal oleh kebijakan moratorium sebelumnya yang menyumbat jalur resmi dan mendorong munculnya “jalan tikus”. Oleh karena itu, dibukanya kembali keran penempatan dipandang sebagai sebuah opportunity strategis yang harus dioptimalkan, tidak hanya untuk mengatasi pengangguran, tetapi juga untuk memberikan kesempatan pengembangan diri bagi warga. Namun, hal ini menuntut kewaspadaan dan pengawasan yang lebih ketat. Faktor pendorong utama bagi calon PMI untuk menempuh jalur berisiko ini adalah desakan ekonomi yang kuat (struggle for life), di mana banyak dari mereka yang sebenarnya memahami risiko yang ada namun tetap memilih berangkat.
Untuk mendukung proses penempatan yang aman, telah dikembangkan infrastruktur kelembagaan dan digital yang solid. LTSA PNI, yang merupakan perluasan fungsi dari PLK PNI berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2012, menjadi pusat layanan yang didukung oleh sistem digital terintegrasi mencakup hiring hall, company dashboard (job bank), training center support system, dan assessment center. Sistem yang awalnya dirancang untuk penempatan luar negeri ini telah diadaptasi untuk bursa kerja dalam negeri dan menjadi aset penting Provinsi Jawa Barat. Kolaborasi lintas entitas menjadi pilar utama, yang dilembagakan melalui nota kesepakatan antara Gubernur Jawa Barat saat itu, Bapak Ridwan Kamil, dengan Kepala BP2MI, Bapak Beni Ramdhani, pada 29 Maret 2022. Sinergi ini terbukti vital dalam penanganan kasus darurat, seperti pemulangan 75 orang PMI asal Jawa Barat dari total 564 korban penipuan di Myanmar. Di tingkat akar rumput, inisiatif seperti keterlibatan Disnaker dalam program “Safari Cinta” Gubernur digunakan untuk sosialisasi cara aman bekerja di luar negeri langsung ke desa-desa.
Bagi PMI yang menempuh jalur prosedural, proses pembekalan dilaksanakan secara komprehensif. Pelatihan tidak hanya mencakup keterampilan teknis, tetapi juga penguasaan bahasa dan penguatan soft skills yang meliputi sikap, mentalitas, literasi keuangan, serta pemahaman hukum. Aspek pelindungan diri juga menjadi prioritas, di mana calon PMI dibekali pelatihan bela diri praktis seperti Jujutsu dari Jepang. Kurikulum juga diperkaya dengan modul dari BNPT untuk mengantisipasi paparan paham radikal dan edukasi pencegahan pemanfaatan PMI sebagai kurir narkoba. Hasilnya, penempatan melalui jalur prosedural, seperti pengiriman tenaga kerja high skill ke Korea dan Slovakia, terbukti memiliki tingkat insiden mendekati nol (zero accident).
Meskipun demikian, sejumlah kendala struktural masih menjadi tantangan. Salah satunya adalah kesenjangan antara kualifikasi formal dan kesiapan faktual calon PMI. Pemeriksaan psikologis dan uji kompetensi, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2017, menjadi krusial namun menghadapi kendala. Banyak calon PMI, terlepas dari latar belakang pendidikannya, tidak memiliki ketahanan mental yang memadai. Di sisi lain, sertifikasi kompetensi sering kali tidak selaras dengan kebutuhan spesifik di negara tujuan, yang menimbulkan dilema dari perspektif penegakan hukum. Isu pembiayaan juga menjadi faktor sentral yang mendorong migrasi non-prosedural. Sektor domestik menjadi pilihan dominan karena tidak memerlukan biaya di muka, berbeda dengan sektor formal yang biayanya sering kali tidak terjangkau, meskipun program Kredit Usaha Rakyat (KUR) PMI telah diluncurkan. Praktik percaloan memperburuk situasi dengan menaikkan biaya secara eksponensial. Selain itu, ditemukan pula bahwa banyak Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) tidak memiliki call center yang aktif dan responsif, sehingga calon PMI yang berminat tidak mendapatkan tindak lanjut yang memadai.
Menanggapi kompleksitas isu ini, terdapat informasi bahwa UU No. 18 Tahun 2017 akan direvisi melalui RUU inisiatif DPR. RUU tersebut diharapkan akan memperkuat peran BP2MI, memperketat persyaratan bagi P3MI, serta menstandardisasi distribusi informasi lowongan kerja. Masukan dari para pemangku kepentingan di Jawa Barat, termasuk aspirasi untuk mengembangkan skema penempatan bagi pekerja profesional seperti visa E-9 Korea Selatan sebagai alternatif program pemagangan, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan RUU tersebut untuk menciptakan sistem pelindungan PMI yang lebih efektif dan komprehensif di masa depan.