Berdasarkan Rapat Pengawasan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, laporan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai implementasi, tantangan, dan rekomendasi kebijakan terkait penanganan narkotika di Indonesia, dengan fokus pada wilayah Jawa Barat. Dialog ini menghadirkan perspektif dari Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ibu Agita Nurfianti, Badan Narkotika Nasional (BNN) tingkat Provinsi dan Kota, Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes), Dinas Sosial, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) GRANAT, yang secara kolektif memberikan gambaran utuh mengenai kesenjangan antara kerangka hukum dan realitas operasional di lapangan.
Kerangka Hukum dan Kebijakan Rehabilitasi Narkotika
Implementasi Program dan Tantangan di Tingkat Kelembagaan
Dalam paparan yang disampaikan oleh perwakilan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Barat, Bapak Anas selaku Koordinator Bidang Rehabilitasi, dijelaskan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi terbagi menjadi rehabilitasi medis (izin Dinas Kesehatan) dan sosial (izin Kementerian Sosial). Model ideal adalah yang mengintegrasikan keduanya, seperti di balai rehabilitasi BNN pusat.
Namun, di tingkat daerah, layanan umumnya masih terbatas pada rawat jalan, meskipun Kota Bandung telah menerima hibah gedung untuk layanan rawat inap yang masih dalam persiapan. Program ini juga mencakup fase pasca-rehabilitasi untuk mencegah kekambuhan (relapse) melalui pendampingan dan pemantauan.
Data BNN-P Jawa Barat menunjukkan dinamika jumlah klien rehabilitasi: 781 klien pada 2020, 1.164 pada 2021, 1.222 pada 2022, 813 pada 2023, dan 1.381 hingga periode berjalan 2024. Penurunan pada 2023 disebabkan oleh perubahan kriteria pelaporan yang lebih ketat. Namun, implementasi program menghadapi kendala fundamental.
Salah satu yang utama adalah rendahnya komitmen aparat penegak hukum lain untuk memprioritaskan rehabilitasi, yang mengakibatkan sekitar 60-65% penghuni lembaga pemasyarakatan adalah narapidana kasus narkotika, dengan lebih dari 70% di antaranya adalah pengguna.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran, sarana, maupun sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Tenaga konselor adiksi memerlukan pelatihan khusus yang alokasi anggarannya di tingkat provinsi dihentikan sejak 2023.
Masalah ini diperparah oleh tingginya rotasi pegawai dan minimnya jumlah lembaga rehabilitasi yang memenuhi standar, di mana di Jawa Barat hanya terdapat 71 lembaga yang bekerja sama dengan BNN.
Realitas Operasional dan Kesenjangan Implementasi di Lapangan
Perspektif paling krusial mengenai kesenjangan antara regulasi (de jure) dan praktik (de facto) disampaikan oleh Kasat Narkoba Polrestabes Bandung, AKBP Dr. Agah Sonjaya, S.H., M.H. Beliau menegaskan komitmen kepolisian untuk melaksanakan rehabilitasi 24/7, bahkan tanpa anggaran khusus, namun terhambat oleh prosedur birokrasi yang rigid dan tidak praktis.
Proses asesmen melalui TAT, yang diatur dalam SKB 2014, memerlukan waktu enam hari kerja. Prosedur ini dinilai mustahil untuk dipenuhi karena bertentangan dengan batas waktu penahanan 1×24 jam dan tidak mengakomodasi penangkapan yang terjadi pada akhir pekan atau hari libur. Menurutnya, masalah mendasar terletak pada defisit kepercayaan antarlembaga yang menghambat kolaborasi efektif.
Sebagai respons terhadap kebuntuan ini, Polrestabes Bandung menginisiasi terobosan berupa “Gelar Khusus”, sebuah forum pengambilan keputusan cepat yang melibatkan unsur kepolisian, pengawas internal, BNN, Dinas Kesehatan, dan LSM untuk mempercepat penentuan status pengguna di luar kerangka TAT yang kaku.
Lebih radikal lagi, beliau menerapkan kebijakan internal untuk melarang penerapan Pasal 127 dalam berkas perkara di unitnya.
Kebijakan ini bertujuan menutup “peluang” kriminalisasi terhadap pengguna murni dan memfokuskan penegakan hukum secara eksklusif pada jaringan pengedar. Namun, kebijakan ini melahirkan dilema baru: manajemen pengguna yang ditangkap namun tidak diproses hukum.
Pihak kepolisian tidak memiliki kewenangan, fasilitas, maupun anggaran untuk menampung mereka, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti konsumsi harian. Situasi ini menciptakan kebutuhan mendesak akan adanya lembaga penerima (penampung) yang dapat segera mengambil alih proses asesmen dan rehabilitasi.
Peran Lembaga Pendukung, Dimensi Sosial, dan Usulan Solusi
Peran Dinas Sosial dalam penanganan narkotika telah bergeser dari penyelenggaraan rehabilitasi langsung menjadi fokus pada reintegrasi sosial pasca-rehabilitasi. Proses ini mencakup pendampingan oleh pekerja sosial, fasilitasi pelatihan kerja, bantuan modal usaha, serta kampanye anti-stigma di masyarakat.
Namun, tantangan terbesar adalah reintegrasi itu sendiri. Stigma sosial dan ketiadaan peluang kerja sering kali mendorong mantan pengguna untuk kambuh atau bahkan beralih menjadi pengedar untuk bertahan hidup. Hal ini diperparah oleh akar masalah sosial-ekonomi, di mana banyak pengguna berasal dari lingkungan kemiskinan kota dengan kondisi hidup yang tidak layak.
Dari berbagai diskusi, muncul beberapa usulan solusi strategis. Rekomendasi paling mendesak adalah penciptaan mekanisme formal di mana kepolisian dapat menyerahkan pengguna yang ditangkap langsung kepada BNN untuk asesmen dan penempatan rehabilitasi. Hal ini akan meringankan beban operasional kepolisian dan mem-bypass prosedur TAT yang berbelit-belit.
Untuk itu, BNN harus diperkuat secara kelembagaan, baik dari segi anggaran, kewenangan, maupun dukungan politik, agar dapat berfungsi sebagai lembaga sentral yang mengelola jalur rehabilitasi secara profesional. Pengalaman sukses di Bogor, di mana lobi kepada Walikota berhasil menyediakan RSJ Marzoeki Mahdi sebagai fasilitas rehabilitasi, menunjukkan bahwa kemauan politik di tingkat daerah dapat menjadi solusi konkret.
Selain itu, diusulkan agar pemerintah daerah mengaktifkan kembali tim koordinasi seperti Tim Terpadu P4GN yang selama ini vakum, serta memanfaatkan aset lahan yang tidak terpakai untuk membangun fasilitas rehabilitasi yang memadai.
Di sisi lain, penanganan adiksi modern menuntut pengembangan SDM yang kompeten dan multidisiplin, termasuk konselor, psikolog, dan terapis keluarga, yang saat ini masih sangat langka. Pengembangan metode rehabilitasi berbasis kearifan lokal (“metode rehat daya kita”) juga dianggap krusial untuk menekan angka relaps yang tinggi.
Sebagai kesimpulan, efektivitas penanganan narkotika di Indonesia sangat bergantung pada pembenahan sistem teknis dan birokrasi. Inisiatif lokal seperti “Gelar Khusus” menunjukkan adanya potensi solusi inovatif, namun reformasi sistemik yang didasari oleh kepercayaan lintas sektoral, penyederhanaan prosedur, dan komitmen politik yang kuat sangat diperlukan.
Ibu Agita Nurfianti dari DPD RI, yang menutup rangkaian diskusi, menegaskan bahwa seluruh masukan ini akan menjadi bahan advokasi di tingkat nasional, dengan kantor perwakilan DPD Provinsi Jawa Barat di Jalan Mundinglaya Nomor 12, Bandung, terbuka untuk menerima aspirasi lebih lanjut guna perbaikan kebijakan di masa depan.
Ringkasan
Pembukaan dan Tujuan Pertemuan
Agita Nurfianti dari DPD RI Provinsi Jawa Baratmembuka pertemuan dengan menyapa para hadirin dari Polres, Granat, Dinas Sosial, serta BNN Provinsi dan Kota. Beliau memperkenalkan diri sebagai anggota Komite 3 DPD RIyang membidangi isu kesehatan, pendidikan, agama, kesejahteraan sosial, serta perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak. Tujuan utama pertemuan ini adalah untuk melakukan inventarisasi materi pengawasan terkait implementasi Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Untuk mengefisienkan waktu, beliau mempersilakan perwakilan dari lembaga terkait untuk langsung memberikan paparannya, dimulai dari Polrestabes.
- Agita Nurfianti dari Komite 3 DPD RI memimpin pertemuan yang dihadiri oleh berbagai lembaga seperti Polres, Granat, Dinas Sosial, dan BNN.
- Fokus pertemuan adalah untuk mengumpulkan masukan dan data terkait pengawasan pelaksanaan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Paparan dari BNN-P Jawa Barat
Ibu Triwangi Wastutidari BNNP Jawa Barat memperkenalkan tim yang hadir untuk mewakili kepala BNN-P yang berhalangan. Tim tersebut terdiri dari Pak Anas(Kasi Rehabilitasi), Pak Kombes Irsan(Penyidik Madya), Pak Deni(Kasi Pengawasan Barang Bukti), Ibu Ivi(Psikolog dan Konselor), serta Ibu Susandari tim rehabilitasi BNN-K Bandung. Ibu Triwangi menjelaskan bahwa tim dari bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat tidak diikutsertakan karena fokus pertanyaan lebih diarahkan pada aspek rehabilitasi dan pemberantasan. Paparan teknis selanjutnya diserahkan kepada tim, dimulai oleh Pak Anas.
- Ibu Triwangi Wastuti mewakili Kepala BNNP Jawa Barat yang tidak dapat hadir.
- Tim BNN yang hadir terdiri dari perwakilan bidang rehabilitasi, penyidikan, pengawasan barang bukti, dan psikolog, yaitu Pak Anas, Pak Kombes Irsan, Pak Deni, Ibu Ivi, dan Ibu Susan.
- Fokus diskusi diarahkan pada rehabilitasi dan pemberantasan, sehingga tim dari bidang pencegahan tidak hadir.
Perbedaan Hukum antara Korban dan Pecandu Narkotika
Diskusi membahas perbedaan perlakuan hukum antara korban penyalahgunadan pecandu narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Pak Irzan menyampaikan bahwa berdasarkan Pasal 55, orang tua atau wali dari pecandu di bawah 18 tahun wajib melaporkan anaknya untuk mendapatkan rehabilitasi. Sementara itu, Pasal 127 ayat 1merinci ancaman pidana penjara bagi penyalahguna untuk penggunaan pribadi, yang bervariasi dari 4 tahun untuk Golongan 1, 2 tahun untuk Golongan 2, dan 1 tahun untuk Golongan 3. Namun, jika seorang penyalahguna dapat dibuktikan sebagai korban—yaitu seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, atau diancam—maka ia wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial, bukan dipidana.
- Terdapat perbedaan hukum yang jelas antara korban penyalahgunadan pecandu narkotika.
- Pasal 55 mewajibkan orang tua dari pecandu di bawah umur untuk melaporkan anaknya agar mendapat rehabilitasi.
- Pasal 127 menetapkan sanksi pidana penjara bagi pengguna pribadi, dengan ancaman hukuman bervariasi tergantung golongan narkotika.
- Penyalahguna yang terbukti sebagai korban(karena paksaan, tipu daya, dll.) diwajibkan menjalani rehabilitasi.
Peran Hakim dan Rehabilitasi sebagai Hukuman Alternatif
Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan terdakwa pecandu narkotika menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, baik jika terbukti bersalah maupun tidak. Ayat kedua pasal tersebut menegaskan bahwa masa rehabilitasi yang dijalani oleh pecandu yang terbukti bersalah akan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Ini menjadikan rehabilitasi sebagai bentuk pidana alternatif. Kebijakan ini diperkuat oleh Peraturan Bersama (Perber) Nomor 1 Tahun 2014yang dikeluarkan oleh BNNdan enam lembaga lainnya untuk menyamakan persepsi melalui mekanisme tim asesmen terpadu, serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010.
- Hakim dapat memerintahkan rehabilitasi baik bagi pecandu yang terbukti bersalah maupun yang tidak terbukti bersalah (Pasal 103).
- Masa rehabilitasi dihitung sebagai bagian dari masa menjalani hukuman, menjadikannya pidana alternatif.
- Koordinasi antar lembaga diatur dalam Peraturan Bersama Nomor 1 Tahun 2014untuk memastikan penanganan yang seragam melalui tim asesmen terpadu.
Proses, Jenis, dan Tujuan Rehabilitasi Narkotika
Pak Anas menjelaskan bahwa setelah program rehabilitasi selesai, pengguna akan melalui pendampingan dan pemantauan selama empat bulan untuk mempertahankan pemulihan. Ia membedakan dua jenis lembaga rehabilitasi: rehabilitasi medis yang izinnya dari dinas kesehatan dan wajib memiliki dokter, serta rehabilitasi sosial yang izinnya dari Kementerian Sosial. Model yang paling efektif adalah rehabilitasi terpadu (medis dan sosial), seperti yang diterapkan di balai rehabilitasi milik BNN pusat. Namun, layanan di BNN provinsi dan kabupaten/kota (BNN-K) umumnya masih terbatas pada rawat jalan. Sebuah pengecualian adalah Kota Bandung, yang telah menerima hibah gedung untuk layanan rawat inap, meskipun waktu operasionalnya belum pasti. Tujuan rehabilitasi adalah pemulihan biologis, psikologis, dan sosial, serta mencegah eskalasi penggunaan dan kekambuhan.
- Setelah program rehabilitasi, ada program pendampingan dan pemantauan selama 4 bulan untuk mencegah kekambuhan.
- Terdapat dua jenis lembaga rehabilitasi:
- Rehabilitasi Medis: Izin dari dinas kesehatan, wajib memiliki dokter dan tenaga medis.
- Rehabilitasi Sosial: Izin dari Kementerian Sosial, namun tetap wajib menyediakan layanan medis dasar.
- Model rehabilitasi ideal adalah yang terpadu (medis dan sosial), namun layanan di BNN-P dan BNN-K sebagian besar masih berupa rawat jalan.
- Kota Bandung sudah memiliki fasilitas untuk rawat inap namun belum beroperasi.
- Tujuan rehabilitasi adalah pemulihan holistik dan pencegahan sekunder serta tersier.
Data dan Statistik Program Rehabilitasi
Pak Anas menyajikan data jumlah pengguna yang mengikuti program rehabilitasi di BNN-P Jabar dan jajarannya. Data ini terbatas pada lembaga di bawah naungan BNN. Jumlah klien yang ditangani adalah 781 orang (2020), 1.164 orang (2021), 1.222 orang (2022), 813 orang (2023), dan 1.381 orang (2024, data berjalan). Penurunan signifikan pada tahun 2023 disebabkan oleh perubahan kualifikasi pelaporan, di mana klien dianggap selesai hanya jika telah mengikuti penilaian WHO sebanyak dua kali. Sementara itu, data asesmen terpadu menunjukkan fluktuasi: 81 klien (2022), 55 klien (2023), 558 klien (2024), dan 481 klien (hingga April 2025).
- Data yang disajikan terbatas pada klien yang ditangani oleh BNN-P Jabar dan jajarannya.
- Jumlah klien yang direhabilitasi: 781 (2020), 1.164 (2021), 1.222 (2022), 813 (2023), dan 1.381 (2024, berjalan).
- Penurunan data pada tahun 2023 disebabkan oleh perubahan metode pelaporan yang lebih ketat, bukan penurunan jumlah pengguna.
- Jumlah klien asesmen terpadu di Jawa Barat sangat dinamis, dengan lonjakan signifikan pada tahun 2024 dan 2025.
Pandangan BNN dan Mekanisme Tim Asesmen Terpadu (TAT)
BNN berpendapat perlu ada perlakuan tegas yang berbeda antara korban penyalahgunaan dan pelaku tindak pidana seperti pengedar. Pelaku harus mendapat sanksi berat, termasuk jeratan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebaliknya, korban wajib direhabilitasi sesuai Pasal 54. Untuk membedakan status ini, BNN menggunakan mekanisme Tim Asesmen Terpadu (TAT) bersama kepolisian setelah penangkapan. Status sebagai korban ditentukan jika hasil tes urin positif, barang bukti di bawah standar pemakaian (SEMA), dan tidak terlibat jaringan. Namun, proses TAT ini terkendala anggaran kecil dan batasan waktu penahanan. BNN menegaskan tidak akan merehabilitasi anggota jaringan, meskipun mereka mungkin mendapat rehabilitasi di dalam lembaga pemasyarakatan (LP).
- BNN mendukung sanksi berat bagi pengedar dan produsen, termasuk penerapan pasal pencucian uang.
- Korban penyalahgunaan wajib direhabilitasi, dan penentuan statusnya dilakukan oleh TAT.
- Kriteria korban meliputi tes urin positif, jumlah barang bukti sesuai aturan, dan tidak terlibat dalam jaringan.
- Kendala dalam proses TAT mencakup anggaran yang kecil dan batasan waktu penahanan tersangka.
- BNN tidak akan merehabilitasi anggota jaringan, yang rehabilitasinya dapat dilakukan di dalam LP.
Tantangan Teknis dan Realita Lapangan dari Kepolisian
AKBP Dr. Agah Sonjaya, SH,MH, selaku Kasat Narkoba dari Polrestabes Kota Bandung, menyatakan bahwa implementasi rehabilitasi di lapangan sangat sulit meskipun aturannya ideal. Pihak kepolisian berkomitmen penuh, namun terbentur regulasi teknis. Proses yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 2014 memakan waktu enam hari kerja, yang bertentangan dengan aturan penahanan 1×24 jam dan tidak mengakomodasi penangkapan di akhir pekan. Untuk mengatasi ini, Polrestabes Bandung menciptakan “gelar khusus” untuk mempercepat keputusan rehabilitasi dalam 24 jam dengan melibatkan BNN dan Dinkes, meski terkendala ketersediaan lembaga lain di luar jam kerja. AKBP Dr. Agah Sonjaya juga menyoroti belum adanya kesepakatan status bagi penjual narkoba untuk membiayai kecanduan, yang menurutnya harus direhabilitasi. Ia menilai akar masalahnya adalah kurangnya kepercayaan antar lembaga.
- AKBP Dr. Agah Sonjaya menyatakan implementasi rehabilitasi sangat sulit karena hambatan teknis dan regulasi.
- Proses rehabilitasi berdasarkan SKB 2014 memakan waktu 6 hari kerja, tidak praktis dan bertentangan dengan batas waktu penahanan 1×24 jam.
- Polrestabes Bandung menciptakan “gelar khusus” untuk mempercepat pengambilan keputusan rehabilitasi, namun terkendala ketersediaan lembaga lain.
- Skala masalah di Bandung sangat besar, di mana jumlah pengguna jauh melebihi kapasitas rehabilitasi.
- Akar masalah utama diidentifikasi sebagai kurangnya kepercayaan antar lembaga (Polisi, Jaksa,BNN, LSM).
Kebijakan Tegas Polrestabes Terhadap Pengguna Murni
Kasat Narkoba menegaskan bahwa Polrestabes memiliki kebijakan untuk tidak memproses hukum pengguna murni, bahkan jika ditemukan barang bukti. Ia secara pribadi melarang keras penggunaan Pasal 127 (pasal tentang pengguna) untuk menutup celah kriminalisasi. Menurutnya, jika pasal tersebut diterapkan, pengguna yang seharusnya direhabilitasi bisa berakhir dipidana. Oleh karena itu, ia memastikan tidak ada berkas perkara di unitnya yang menggunakan pasal tersebut. Penindakan hukum difokuskan pada mereka yang terlibat dalam jaringan peredaran dengan motif ekonomi, yang dibuktikan melalui penyelidikan mendalam seperti riwayat transaksi di ponsel.
- Polrestabes berkomitmen untuk tidak memproses hukum pengguna narkotika murni.
- Kasat Narkobamelarang penggunaan Pasal 127 untuk mencegah kriminalisasi terhadap pengguna.
- Penindakan hukum difokuskan pada pengedar atau kurir dengan motif ekonomi, yang dibedakan melalui penyelidikan mendalam.
Peran, Hambatan, dan Rekomendasi dari LSM Komunitas
Seorang perwakilan dari LSM Komunitasdan DPD Granat memaparkan peran mereka sebagai mitra pelaksana dan pengawas rehabilitasi. Fokus mereka meliputi pengawasan hukum (memastikan PH menerapkan Pasal 4dan Pasal 103), pengawasan mutu lembaga rehab, pengawasan proses TAT agar objektif, dan advokasi reintegrasi sosial. Hambatan yang dihadapi adalah inkonsistensi penegakan hukum, rekomendasi TAT yang tidak mengikat, keterbatasan anggaran, fasilitas yang tidak merata, stigma masyarakat, dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Rekomendasi yang diberikan adalah memperkuat kerja sama formal (Perjanjian Kerja Sama), membuat rekomendasi TAT mengikat, menyelenggarakan pelatihan gratis, membangun sistem data terpadu, dan mendorong reintegrasi ekonomi melalui pemda.
- Peran utama LSM Komunitas adalah sebagai mitra pengawas untuk memastikan pecandu direhabilitasi.
- Hambatan utama meliputi inkonsistensi hukum, keterbatasan sumber daya, dan lemahnya koordinasi antar-lembaga.
- Rekomendasi yang diusulkan mencakup penguatan kerangka hukum TAT, peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan, dan pembangunan sistem data terpadu.
Kendala Utama dalam Pelaksanaan Rehabilitasi
Berbagai pembicara mengidentifikasi sejumlah kendala besar. Pak Anas menyoroti lemahnya komitmen aparat penegak hukum (APH), jaksa, dan hakim, yang menyebabkan 60-65% penghuni lapas berasal dari kasus narkotika, di mana lebih dari 70% adalah pengguna. Kendala lain adalah kurangnya SDM terlatih seperti konselor adiksi, tingginya rotasi pegawai, dan terbatasnya anggaran pelatihan. Bu Susan menambahkan bahwa BNN-K Kota Bandung mengalami krisis SDM, tanpa dokter organik dan hanya memiliki beberapa konselor. Selain itu, jumlah lembaga rehabilitasi yang memenuhi standar masih sangat sedikit, hanya 71 lembaga di Jawa Barat.
- Kurangnya Komitmen APH: Banyak pengguna yang berakhir di penjara karena lemahnya komitmen APH untuk merehabilitasi.
- Masalah Sumber Daya:
- SDM: Kekurangan konselor adiksi terlatih, diperparah oleh penghentian anggaran pelatihan di tingkat provinsi dan tingginya rotasi pegawai. BNK Kota Bandung secara spesifik tidak memiliki dokter organik.
- Fasilitas: Jumlah lembaga rehabilitasi yang memenuhi standar dan bekerja sama dengan BNN sangat terbatas.
- Anggaran: Ketiadaan regulasi yang jelas untuk alokasi anggaran operasional, seperti biaya transportasi klien, menjadi hambatan besar.
Tantangan Pasca-Rehabilitasi dan Konteks Sosial
Bu Ivi menyoroti masalah kompleks pasca-rehabilitasi, di mana kemiskinan kota dan lingkungan yang tidak layak menjadi jebakan bagi para penyintas. Ia menggambarkan kondisi hidup klien yang sangat memprihatinkan.
Stigma masyarakat dan kesulitan mendapatkan pekerjaan menjadi penghalang utama reintegrasi sosial, yang seringkali menyebabkan mereka kambuh (relaps). Para pembicara sepakat bahwa faktor ekonomi adalah pendorong utama kejahatan narkotika, di mana banyak orang terjerumus ke dalam jaringan karena desakan kebutuhan hidup, bahkan untuk keuntungan yang sangat kecil.
- Penyintas narkoba menghadapi tantangan besar pasca-rehabilitasi akibat kemiskinan, kondisi hidup yang buruk, dan stigma sosial.
- Kesulitan mendapatkan pekerjaan menjadi penghalang utama reintegrasi, seringkali menyebabkan relaps.
- Faktor ekonomi diakui sebagai pendorong utama di balik maraknya kejahatan narkotika.
Peran Dinas Sosial dalam Reintegrasi Sosial
Perwakilan dari Dinas Sosial menjelaskan bahwa sejak 2017, kewenangan rehabilitasi narkotika telah dialihkan ke BNN-D dan Kementerian Sosial. Peran Dinas Sosial kini bergeser ke tahap reintegrasi sosial pasca-rehabilitasi. Fokusnya meliputi dukungan keluarga melalui kunjungan rumah, pendampingan oleh pekerja sosial selama 3-6 bulan, fasilitasi pelatihan keterampilan dan pekerjaan bekerja sama dengan RPKIDRK, pemberian bantuan modal usaha, serta kampanye anti-stigma di sekolah dan masyarakat.
- Penanganan rehabilitasi narkotika bukan lagi tugas utama Dinas Sosial sejak 2017.
- Peran Dinas Sosial bergeser ke tahap reintegrasi sosial pasca-rehabilitasi.
- Fokus utama adalah pada dukungan keluarga, pendampingan, fasilitasi ekonomi (pelatihan dan modal), serta kampanye anti-stigma.
Kurangnya Koordinasi dan Tumpang Tindih Kewenangan
Diskusi menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga. Tim terpadu seperti Tim RU dan tim untuk P4GN yang dibentuk Pemprov dilaporkan tidak pernah berkumpul selama lima tahun, menyebabkan rencana aksi daerah tidak berjalan. BNN merasa terhambat karena usulan harus melalui Kesbangpol dan birokrasi yang macet. Terjadi juga tumpang tindih kewenangan antara Dinas Sosial (“rehab sosial”) dan Dinas Kesehatan (“rehab medis”). Disarankan agar layanan rehabilitasi diklasifikasikan sebagai “rehab medis” dan dioperasikan oleh Dinas Kesehatan untuk menghindari kendala regulasi, mencontoh keberhasilan di RSJ Marzuki Mahdi, Bogor.
- Tim terpadu yang dibentuk Pemprov tidak berfungsi, menyebabkan rencana aksi daerah untuk P4GN tidak berjalan.
- Birokrasi yang macet dan kurangnya koordinasi menghambat gerak BNN dan lembaga lain.
- Terdapat tumpang tindih kewenangan antara Dinas Sosialdan Dinas Kesehatan terkait rehabilitasi.
- Disarankan agar layanan rehabilitasi dikategorikan sebagai “rehab medis” di bawah Dinas Kesehatan untuk menyederhanakan proses.
Usulan Strategi dan Solusi Sistemik
Beberapa usulan strategis diajukan. Kasat Narkoba mengusulkan alur kerja di mana polisi dapat langsung menyerahkan pengguna ke BNN untuk asesmen, memisahkan mereka dari proses hukum. Diusulkan pula pengembangan intervensi dini di sekolah (SMP, SMA) untuk menyasar kelompok “coba-pakai” dan pengembangan metode rehabilitasi berbasis budaya lokal. Narasumber dari BNN Provinsi Jawa Barat menekankan pentingnya satu data terpadu antara BNN dan Dinas Sosial untuk perencanaan anggaran dan SDM yang lebih baik. Perwakilan BNN juga mendukung gagasan penanganan terpusat seperti model DEA di Amerika untuk menghindari tumpang tindih dan memastikan keseriusan penanganan.
- Diusulkan agar kepolisian dapat langsung menyerahkan pengguna ke BNN untuk asesmen, mem-bypass proses hukum yang rumit.
- Perlu adanya intervensi dini di sekolah dan pengembangan metode rehabilitasi berbasis budaya lokal.
- Pentingnya menciptakan satu data terpadu mengenai jumlah pecandu di Jawa Barat untuk perencanaan kebijakan yang lebih baik.
- Ada dukungan untuk model penanganan terpusat seperti DEA untuk meningkatkan efektivitas dan keseriusan.
Keterbatasan Fasilitas dan Kebutuhan Peningkatan Kapasitas
Skala masalah narkoba di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung, sangat besar dan tidak sebanding dengan kapasitas fasilitas rehabilitasi. Pernah terjadi penyitaan 3.700.000 pil obat keras, yang menggambarkan besarnya masalah. Fasilitas yang ada seperti Rumah Sakit Jiwa Cisawang (kapasitas 61 orang) dan layanan gratis lainnya sangat terbatas, padahal Kota Bandung membutuhkan kapasitas untuk ratusan orang. Layanan rawat jalan juga terbatas, hanya mampu menangani maksimal lima orang per hari. Pemprov Jawa Barat sebenarnya memiliki aset yang bisa dimanfaatkan, seperti perumahan kosong di Ujung Jaya, Sumedang, yang berpotensi dijadikan pusat rehabilitasi.
- Jumlah pengguna narkoba jauh melampaui kapasitas fasilitas rehabilitasi yang ada di Kota Bandung dan Jawa Barat.
- Kapasitas fasilitas yang ada, seperti Rumah Sakit Jiwa Cisawang, sangat terbatas dibandingkan kebutuhan.
- Layanan rawat jalan juga mengalami penumpukan karena kapasitas harian yang rendah.
- Pemprov memiliki aset tidak terpakai seperti perumahan di Ujung Jaya, Sumedang, yang bisa dialihfungsikan menjadi pusat rehabilitasi.
Penutup dan Tindak Lanjut Pertemuan
Pertemuan ditutup oleh Agita Nurfianti dari DPD RI Provinsi Jawa Barat. Ia menyatakan bahwa diskusi tersebut sangat bermanfaat dan hasilnya akan ditindaklanjuti. Peserta yang memiliki masukan tambahan dapat menyampaikannya secara tertulis ke kantor DPD RI Provinsi Jawa Barat di Jalan Munding laya nomor 12.
- Agita Nurfianti dari DPD Provinsi Jawa Barat menutup diskusi dan akan menindaklanjuti hasilnya.
- Masukan tertulis dapat dikirimkan ke kantor DPD Provinsi Jawa Barat di Jalan Munding laya nomor 12.
Kekhawatiran, Risiko, Blokir, dan Batasan (Severity & Ownership)
- High Severity:
- Inkonsistensi penegakan regulasi (banyak pengguna dipidana; overkapasitas lapas): Ownership — APH (Polri/Kejaksaan/Pengadilan)
- Prosedur TAT/SKB rigid dan tidak fleksibel (jam kerja; anggaran kecil; hari libur): Ownership — K/L terkait (Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, BNN, Kemensos)
- Kekurangan SDM medis di BNK Bandung (dokter/perawat organik tidak tersedia): Ownership — BNNK Bandung/Dinkes/Pemprov
- Skala peredaran obat keras (3.700.000 pil) di Bandung: Ownership — Polri/BNN/Pemkot
- Relaps pascarehab tinggi (40–50%); kemiskinan/stigma memperparah: Ownership — BNN/Dinsos/Disnaker/Pemda
- Medium Severity:
- Integrasi data layanan provinsi belum final (basis anggaran/outcome lemah): Ownership — Dinas Sosial (koordinasi), BNN-P Jabar (kontributor data), Pemprov
- Standarisasi lembaga rehab berjejaring (71 lembaga; banyak belum memenuhi standar): Ownership — Lembaga rehab/BNN-P Jabar/Pemprov
- Akses layanan rendah (5,5%): Ownership — BNN-P/BNN-K, Dinkes, Dinsos, lembaga pendidikan
- Kapasitas rawat jalan vs kebutuhan tinggi (Bandung): Ownership — Dinkes/Puskesmas/RS
- Stigma sosial menghambat pelaporan/reintegrasi: Ownership — Dinsos/BNN/Pemda/Komunitas
- Low Severity:
- Ketidakhadiran Kepala BNN-P (perlu validasi kebijakan): Ownership — BNNP Jabar
Konteks Strategis, Ekspektasi, dan Kesepakatan Tindak Lanjut
- Konteks:
- Revisi UU No. 35/2009 sedang/akan berlangsung; BNN berharap perbaikan eksplisit pada TAT dan operasional asesmen
- Kesenjangan de jure vs de facto: regulasi ada, implementasi sulit karena turunan prosedural, kapasitas, waktu, dan biaya
- Beban kasus tinggi di Bandung; tren NPS/APU; kemiskinan kota dan stigma meningkatkan risiko relaps/kriminalitas
- Ekspektasi:
- Penegakan hukum proporsional berbasis asesmen untuk membedakan pengguna (korban) dari pelaku jaringan
- BNN menjadi penampung utama triase rehabilitasi; penguatan kapasitas/anggaran; layanan rawat inap Bandung segera beroperasi
- Pemprov mendukung pembinaan lembaga rehab, penguatan SDM, dan integrasi data; ekspansi layanan ringan di sekolah/kampus untuk “coba-pakai”
- Prosedur layanan terpadu satu atap beroperasi 24/7; MoU penyerahan pengguna dari Polrestabes ke BNN
- Kesepakatan/Follow-up (implisit/eksplisit):
- Polrestabes: siap mendorong optimalisasi rehabilitasi 24/7; melanjutkan “gelar khusus”; komitmen “pengguna tidak diproses hukum melainkan di rehabilitasi”
- BNN: terus mendorong asesmen bersama APH; tidak memasukkan individu ke rehab tanpa mekanisme resmi; pembinaan lembaga rehab; dorong dukungan politik/anggaran
- DPD RI: akan menyampaikan hasil pertemuan ke Senayan; dorong pelatihan kerja dan sinergi dinas; advokasi penguatan BNN dan kerangka hukum.
- Dinas Sosial: lanjutkan koordinasi penyuluhan anti-stigma dan reintegrasi keluarga; dorong integrasi data
- Semua pihak: urgensi koordinasi dan pembentukan mekanisme terintegrasi; undangan lintas instansi untuk reaktivasi Tim RU/P4GN/RAD
Ringkasan Eksekutif (Untuk Pengambilan Keputusan)
- Masalah utama:
- Ketidakkonsistenan penerapan asas rehabilitasi bagi pengguna (APH); TAT/SKB tidak fleksibel (jam kerja/hari libur/Anggaran Operasional kecil); kekurangan SDM/fasilitas; integrasi data belum final; relaps tinggi; akses rendah
- Dampak:
- Banyak pengguna dipidana; lapas overkapasitas; layanan rehab tidak optimal; standardisasi lembaga belum seragam; kapasitas detoks/rawat inap terbatas; backlog penanganan
- Solusi yang diusulkan:
- Perjelas/kuatkan TAT dalam revisi UU/turunan; prosedur terintegrasi 24/7 satu atap; MoU alur penyerahan pengguna ke BNN; pembinaan 71 lembaga agar penuhi standar; mobilisasi puskesmas (metode grup) untuk rawat jalan; penguatan SDM/pelatihan/SEKOM; integrasi data provinsi; intervensi dini sekolah/kampus; pendekatan budaya lokal; program anti-stigma dan reintegrasi keluarga/ekonomi
- Urgensi:
- Tinggi untuk perbaikan regulasi dan operasional lintas lembaga, mengingat skala kasus (termasuk temuan 3.700.000 pil di Bandung), hak rehabilitasi, dan beban sistemik terhadap lapas serta layanan kesehatan sosial
Referensi Regulasi, Terminologi, dan Produk/Program yang Disebut
- Regulasi:
- UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: Pasal 54, 55, 103 (ayat 1 huruf a & b; ayat 2), 127, 111–148 (Golongan II: Pasal 117–121; Golongan III: Pasal 122–126; Pasal 127–128)
- SEMA No. 4 Tahun 2010: Pedoman penanganan penyalahguna sebagai pengguna
- Peraturan BNN No. 1 Tahun 2014: Penanganan penyalahguna/korban melalui lembaga rehab & mekanisme TAT
- UU Psikotropika: Pasal 59
- UU Kesehatan: Pasal 429
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (mandat Dinsos; disebut “2012” dalam sesi, konteks merujuk regulasi yang berlaku)
- Terminologi/Program:
- TAT: Tim Asesmen Terpadu (legal-medik)
- WHO Assessment (dua kali untuk kualifikasi selesai, pelaporan 2023); WHO-DAS (monitoring domain fungsi)
- SEKOM: Sertifikasi Kompetensi
- APH: Aparat Penegak Hukum (Polri/Kejaksaan/Pengadilan)
- IPWL: Institusi Penerima Wajib Lapor
- “Gelar khusus”: Forum ad hoc Polrestabes untuk keputusan rehabilitasi cepat
- “Lapor Pengaduan”: Call center Polrestabes (24/7)
- Lido: Pusat rehabilitasi BNN nasional
- Bunga 1 & 2 (Provinsi): Lokasi layanan rawat inap (disebut)
- NPS/APU/“ganja cair”: Tren zat/ancaman baru