Agita NurfiantiAgita NurfiantiAgita Nurfianti
  • Berita
  • Profil
  • Galeri
  • Video
  • Link Relasi
Reading: Program Makan Bergizi Gratis di Jawa Barat: Tantangan, Data, dan Reformasi Keamanan Pangan Sekolah
Share
Sign In
Notification Show More
Font ResizerAa
Agita NurfiantiAgita Nurfianti
Font ResizerAa
  • Berita
  • Profil
  • Galeri
  • Video
  • Link Relasi
Search
  • Berita
  • Profil
  • Galeri
  • Video
  • Link Relasi
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2023 Agita Nurfianti, DPD RI Jawa Barat. All Rights Reserved.
Agita Nurfianti > Berita > Rapat Kerja > Program Makan Bergizi Gratis di Jawa Barat: Tantangan, Data, dan Reformasi Keamanan Pangan Sekolah
Rapat Kerja

Program Makan Bergizi Gratis di Jawa Barat: Tantangan, Data, dan Reformasi Keamanan Pangan Sekolah

Tim Admin
Last updated: Oktober 16, 2025 02:47
Tim Admin
Share
15 Min Read
Rapat Pengawasan yang dipimpin oleh Agita Nurfianti, Anggota DPD RI dari Komite III Jawa Barat, membahas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Diskusi melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat, Dinas Pendidikan Kota Bandung, dan BBPOM Bandung.
Rapat Pengawasan yang dipimpin oleh Agita Nurfianti, Anggota DPD RI dari Komite III Jawa Barat, membahas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Diskusi melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat, Dinas Pendidikan Kota Bandung, dan BBPOM Bandung.
SHARE

Rapat Pengawasan ini dipimpin oleh Agita Nurfianti, anggota DPD RI dari Provinsi Jawa Barat (Komite III), dengan fokus pada inventarisasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Diskusi melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat (KBB), Dinas Pendidikan Kota Bandung, serta Balai Besar POM Bandung (BBPOM).

Secara substantif, paparan teknis yang paling relevan dan sistematis berasal dari Dinas Kesehatan dan BBPOM, yang memetakan kondisi lapangan, standar teknis, kapasitas laboratorium, respons kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, serta rekomendasi mitigasi risiko. Informasi dari Dinas Pendidikan melengkapi konteks kebijakan sasaran, kesiapan satuan pendidikan, dan pengawasan pra-distribusi di sekolah.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat memaparkan kondisi operasional MBG yang ditandai oleh ketidaksinkronan basis data LSKS antara GIMES dan BDM yang sedang diperbarui.

Upaya percepatan dilakukan melalui surat edaran dan penguatan pelatihan penjamah makanan tanpa mengurangi standar mutu.

Secara kuantitatif, tercatat 53.999 penjamah makanan, 14.530 telah dilatih, dan 41.726 belum dilatih. Dari 2.077 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), baru 20 yang memperoleh SKHS (Sertifikat Kelayakan Higiene Sanitasi), 451 dalam proses, dan 257 belum.

Inovasi perizinan di daerah mencakup sistem Hayu Bandung/Gampil di Kota Bandung (sinkronisasi DPMPTSP–Dinkes) dan Sijempol di Kabupaten Garut yang memisahkan perizinan konsumtif untuk SLHS, sementara Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, dan Kota Cimahi masih mengandalkan DPMPTSP dengan rujukan laboratorium eksternal.

Dalam alur percepatan SLHS (Sertifikat Laik Higiene Sanitasi), dokumen administratif yang lengkap harus segera ditindaklanjuti dengan inspeksi lingkungan, tetapi standar teknis tidak boleh diturunkan. Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) mensyaratkan nilai minimal 80 sebelum pengambilan sampel.

Komponen pemeriksaan mencakup air minum, sampel pangan, serta pelatihan penjamah, dengan kewajiban bank sampel 2–24 jam setiap pelaksanaan dan uji organoleptik pra-konsumsi di sekolah.

Distribusi dibatasi idealnya dalam radius waktu 30 menit untuk menjaga keamanan pangan, dengan tata letak sarana prasarana yang memadai termasuk kapasitas cold storage/freezer, terutama untuk bahan berisiko seperti ayam.

Respons terhadap KLB pangan mengikuti definisi minimal dua orang terpapar pangan yang sama, dengan aktivasi Tim Gerak Cepat (TGC), penyelidikan epidemiologi, dan koordinasi lintas sektor (Dinas Pendidikan, Labkes, SPPG).

Kebutuhan SDM muncul sebagai isu kritis, yaitu kekurangan tenaga gizi kompeten dan tenaga sanitasi di puskesmas, yang berdampak pada program MBG dan layanan rutin; beberapa daerah menambah persyaratan pemeriksaan rektal bagi penjamah di samping Surat Keterangan Sehat.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat menguraikan implementasi percepatan Layak Higiene Sanitasi melalui SOP khusus. Alur teknis dimulai dari IKL dengan nilai minimal 80, dilanjutkan dengan pengambilan sampel.

Pemeriksaan air bersih dilakukan karena digunakan untuk mencuci bahan/alat dan, merujuk surat edaran Kemenkes, air kemasan untuk memasak juga diuji dengan parameter bakteriologi, kimia, dan fisika.

Sampel makanan diuji untuk E. coli, Staphylococcus aureus, Salmonella, dan total plate count; alat talenan, pisau, serta perangkat saji diperiksa kontaminasi. Menyusul kejadian keracunan massal di KBB, dilakukan rectal swab sampling terhadap lima petugas per SPPG (dua memasak, dua persiapan, satu pencuci), dan pada tiga lokasi terdampak seluruh relawan diperiksa.

Dari 107 SPPG di KBB, belum ada yang berstatus Layak Sehat, namun proses berjalan dan diperkirakan mulai terbit sekitar tanggal 20 (tanpa tahun dan bulan disebut).

Untuk percepatan, perizinan diproses secara offline khusus SPPG karena kendala verifikasi NIB pada sistem online DPMPTSP yang memperpanjang alur; kapasitas laboratorium KBB memadai sehingga tidak perlu merujuk, tetapi jumlah petugas pengambil sampel sangat terbatas dan beban kerja puskesmas bertumpuk.

Solusi sementara adalah pengalihan fokus petugas Kesling untuk IKL dan sampling, dengan dukungan kewilayahan (Babinsa, Polsek, kecamatan, desa). Backlog pelatihan penjamah di 36 SPPG diatasi dengan roadshow pelatihan terpusat (3–4 SPPG per sesi), disertai koordinasi dengan sekolah untuk meniadakan distribusi makanan pada hari pelatihan.

Dinas Pendidikan Kota Bandung menegaskan komitmen untuk mengawal MBG agar manfaat dirasakan siswa, menyebut regulasi daerah yang mendukung pelaksanaan oleh Dinas Kesehatan dan Pemerintah Kota (supervisi dan monitoring), serta menyoroti problem penetapan sasaran penerima yang berada pada kewenangan BGN.

Muncul mismatch: sekolah ekonominya relatif mampu menerima sementara siswa berpenghasilan rendah tidak terjangkau, sehingga diusulkan evaluasi kriteria dan mekanisme sasaran.

Pemerintah Kota Bandung menerbitkan surat kepada kepala sekolah/satuan pendidikan untuk membentuk tim pengawasan pra-distribusi yang memeriksa visual, bau, dan tekstur/lendir; jika ada kecurigaan, segera koordinasi dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Ketahanan Pangan untuk pemeriksaan laboratorium, makanan layak didistribusikan, yang tidak layak dikembalikan dengan berita acara kepada SPPG.

Per 24 September 2025, data menunjukkan 730 satuan pendidikan (belum termasuk MI/madrasah di Kemenag), 87 dapur SPPG aktif dengan tiga dalam persiapan (menuju 90), dan 289.339 penerima manfaat.

Basis Dapodik 2020 mencatat total siswa 461.723 (belum termasuk Kemenag), sehingga cakupan sekitar 62,66%; data gabungan Distrik–Kemenag menyebut 37,88% pada tanggal yang sama, yang mengindikasikan kendala integrasi data lintas sistem.

Pemetaan dapur per kecamatan di Kota Bandung, misalnya Cicendo (9) dan Lengkong (10), terus menuju 90 dapur aktif.

Kota Bandung mendukung penyediaan lahan dengan kerja sama TNI dan Polri untuk pembangunan dapur SPPG. Disebut satu SPPG diberhentikan permanen oleh BGN karena kinerja berisiko (SPPG Regol, sekitar Jalan Moh. Toha), dengan 3.451 penerima dialihkan ke SPPG terdekat, dan satu SPPG berhenti sementara untuk renovasi memenuhi LSHS (SPPG Cidadak Hegarmana, 3.754 penerima ditangguhkan).

Terdapat komplain keterlambatan pembayaran akibat teknis administrasi penganggaran yang memengaruhi kontinuitas layanan (sekitar 3.027 penerima terdampak sementara), di luar intervensi pihak kota.

Penanganan kasus terbaru disebut “tanggal 25” dengan tiga kasus terdeteksi cepat sehingga sisa makanan tidak dibagikan. Kejadian besar tercatat pada 29 April 2025 di SMP Negeri 35 Bandung (sekitar 1.042 kasus) dan 12 Agustus 2025 di SMP Negeri 74 Bandung (sekitar 140 kasus).

Pemkot membentuk PIU (Project Implementation Unit) MBG 2025 yang memperluas fokus ke distribusi, dan mengaktifkan Tim Gerak Cepat KLB Dinas Kesehatan.

Usulan kebijakan penyajian prasmanan di sekolah muncul untuk menjaga suhu saji, mengurangi kondensasi akibat penutupan wadah, menyesuaikan preferensi siswa, serta membangun interaksi sosial melalui antrean yang tertata; implementasinya memerlukan penataan ruang, peralatan, dan pengawasan higienitas ketat.

Inisiatif urban farming “Buruan Sae” di banyak RW diharapkan dapat menjadi sumber bahan lokal berkualitas, meskipun belum terintegrasi dalam rantai pasok resmi MBG.

Balai Besar POM Bandung, menegaskan dukungan terhadap MBG dan menjelaskan mandat pengawasan obat dan makanan berdasarkan Perpres 2017 serta cakupan UPT (76 unit nasional, 3 di Jawa Barat, wilayah pengawasan BBPOM Bandung meliputi 19 kabupaten/kota).

Berdasarkan PP Nomor 86 Tahun 2019, KLB pangan ditetapkan bila dua orang atau lebih mengonsumsi makanan yang sama dan diduga menjadi penyebab kejadian. BBPOM memiliki instrumen kitchen inspection yang selaras tujuan dengan SLHS di Dinas Kesehatan, yaitu pencegahan KLB.

Praktik saat ini lebih bersifat responsif “seperti tukang pemadam”, tim turun bersama Dinas Kabupaten/Kota saat KLB untuk investigasi epidemiologi dan pengujian produk pangan; kompetensi pengujian tidak mencakup spesimen biologis (muntahan/cairan tubuh). Contoh kasus yang dikawal termasuk Kuningan, ketika sampel pangan belum diuji Dinkes setempat dan kemudian diuji oleh BBPOM.

BBPOM menjadi narasumber pelatihan penjamah pangan (akhir Juli–awal Agustus, tiga batch, ribuan peserta), namun menyimpulkan bahwa pelatihan saja tidak cukup tanpa pengendalian proses yang konsisten.

Temuan teknis BBPOM menyoroti kelemahan pengendalian proses di SPPG: kapasitas freezer tidak memadai sehingga produk terlalu lama di suhu ruang, memicu pertumbuhan bakteri eksponensial; ketiadaan termometer untuk memverifikasi kematangan (misal parameter operasional 100°C selama 15 menit untuk komponen berkuah); ketidakpatuhan terhadap termin produksi (batching); dan tidak adanya standar waktu edar konsumsi (darwarsa) yang tegas.

BBPOM merekomendasikan penetapan darwarsa maksimal, misalnya empat jam sejak produksi hingga konsumsi, dengan literasi kepada siswa agar mengenali aroma atau rasa yang tidak normal.

Pada kasus substitusi susu dari UHT kemasan ke susu pasteurisasi (misalnya KPBS), rantai dingin maksimum 8°C dan konsumsi segera menjadi titik kritis; BBPOM melakukan penelusuran ke sarana produksi berizin edar dan distributor untuk memeriksa waktu, jalur, dan suhu distribusi.

BBPOM telah merangkum hasil pemeriksaan terhadap sekitar 22 SPPG terkait KLBKP dalam repositori internal, tetapi belum ada mekanisme penjaminan tindak perbaikan; koordinasi diperlukan agar dukungan mitigasi berjalan sebelum kejadian, bukan hanya korektif.

BBPOM belum terintegrasi secara formal dalam TGC level provinsi dan kabupaten/kota, walaupun koordinasi operasional saat KLB berjalan; karena itu, mereka menekankan kebutuhan alur kerja yang jelas dan akses data operasional MBG (daftar SPPG, lokasi, menu, pangan olahan terkemas yang disajikan) untuk pengawasan proaktif sebagai early warning, terutama bagi kelompok rentan (anak dan ibu hamil).

Isu wadah kontak pangan (ompreng/omfret) mendapat perhatian khusus lintas pembicara. Dinas menyebut praktik awal ketika biaya penggantian wadah rusak/hilang (sekitar Rp80.000 per unit) dibebankan ke sekolah sehingga siswa diminta membawa misting pribadi.

Praktik ini meningkatkan risiko higienitas dan keamanan karena wadah tidak selalu food grade, tidak tahan panas, atau tidak dicuci dengan benar.

Setelah penekanan pelatihan, kebijakan tersebut berubah dan standar diperketat. Kekhawatiran terkait migrasi logam dari stainless yang tidak sesuai spesifikasi dan migrasi senyawa dari plastik pada paparan panas, lemak, dan minyak menimbulkan pajanan kimia kronis yang efeknya laten, berbeda dari keracunan mikrobiologis yang akut.

Karena itu, perlu ditetapkan kebijakan seleksi wadah food grade, SOP pembersihan dan sterilisasi, parameter suhu/durasi pada perangkat pengering/sterilisasi, masa pakai, dan frekuensi penggantian, serta audit berkala.

Dari sisi operasional sekolah, Dinas Pendidikan menguatkan mekanisme pelaporan di sekolah, meski sementara masih mengandalkan WhatsApp/telepon untuk kejadian tak diinginkan dan rekap menu/penerima.

Penguatan kelembagaan UKS, checklist ketat di sekolah, dan pengawasan “global checking” oleh Dinas Pendidikan menjadi strategi yang dikedepankan.

Setelah kejadian keracunan, koordinasi dengan SPPG lebih terbuka, akses inspeksi dapur dilonggarkan, bahkan beberapa SPPG meminta siswa mengajukan “request menu” untuk penyesuaian preferensi sepanjang sesuai biaya dan waktu.

Kebijakan konsumsi segera setelah makanan tiba diberlakukan di jenjang SD/SMP untuk menurunkan risiko degradasi mutu karena penundaan; jam masak yang dimulai tengah malam (sekitar pukul 23.00) dengan target konsumsi pukul 08.00 tetapi bergeser ke pukul 10.00 dinilai meningkatkan risiko “bau” dan lendir. Usulan implementasi prasmanan di sekolah harus ditopang pengaturan higienitas, tata ruang, alat saji, pengawasan antre, dan pengendalian suhu agar tidak memicu paparan terbuka.

Kapasitas produksi harian per SPPG yang besar (3.500–4.000 porsi) di KBB menunjukkan beban kerja yang menekan waktu dan kualitas, termasuk kompetensi relawan yang heterogen dan praktik kerja yang tidak fokus.

Masalah suplai ayam karena volume besar memicu pencampuran kualitas dan sebagian tidak segar, sehingga keracunan parsial terjadi.

Rekomendasi teknis yang muncul ialah pembatasan kapasitas per pemasok, pengaturan jatah per supplier, konsistensi bahan, dan penurunan skala sasaran per dapur agar operasi harian lebih “normal” dan segar.

Pada wilayah sekolah, opsi kantin sehat bersertifikasi diposisikan sebagai pilot yang feasible karena porsi lebih kecil dan tenaga kantin terbiasa menyajikan pangan, dengan prasyarat penilaian kantin sehat (SKS) dan mekanisme audit.

Dari sisi surveilans, Dinas Kesehatan telah memperkuat penggunaan SKDR (Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons) untuk input harian kejadian keracunan dan 24 penyakit prioritas mingguan, dengan kewajiban pelaporan KLB dalam 24 jam; ini menjadi tulang punggung monitoring berbasis laboratorium dan epidemiologi di provinsi, kabupaten/kota, dan pusat.

Secara keseluruhan, diskusi menggarisbawahi tiga poros keberhasilan MBG.

Pertama, standar keamanan pangan yang dapat diaudit, meliputi IKL dengan ambang nilai, SLHS/SKHS, bank sampel, uji organoleptik, pengaturan suhu–waktu (darwarsa), tata letak sarpras, dan kontrol cold chain.

Kedua, keandalan jaringan layanan dan tata kelola, meliputi sinkronisasi data lintas sistem (Dapodik–Kemenag, GIMES–BDM), inovasi perizinan daerah (Hayu Bandung/Gampil, Sijempol), integrasi BBPOM ke TGC, penguatan SDM gizi dan sanitasi, serta perbaikan mekanisme penetapan sasaran yang adil dan tepat.

Ketiga, manajemen distribusi berbasis waktu dan mitigasi operasional, meliputi konsumsi segera di sekolah, opsi prasmanan yang higienis, penurunan skala produksi per dapur, integrasi bahan lokal melalui program seperti Buruan Sae atau koperasi, serta penegakan termin produksi yang patuh.

Penekanan pada keamanan wadah food grade menutup celah risiko non-mikrobiologis yang semakin relevan dalam kasus terbaru, sementara penegakan literasi keamanan pangan kepada siswa dan orang tua diperlukan untuk memulihkan kepercayaan pascakeracunan.

Dengan dukungan lintas sektor dan alur kerja yang jelas, termasuk akses data operasional bagi BBPOM, MBG diharapkan dapat berjalan konsisten, terukur, dan aman bagi peserta didik serta kelompok rentan.

You Might Also Like

Optimalisasi Dukungan Kelembagaan, DPD RI Dorong Sinergi Anggota dan Staf

Senator Agita Nurfianti Minta Menag Bina dan Awasi Ponpes Cegah Hal Menyimpang

Dialog DPD RI, BNN, Polrestabes Kota Bandung, dan GRANAT ungkap solusi reformasi rehabilitasi narkotika di Jawa Barat untuk penyelamatan korban dan reformasi kebijakan nasional.

Wawancara bersama Bapak Adhi Wisnu S., membahas kerangka konseptual dan operasional Sekolah Rakyat

Senator Agita Soroti Perlindungan Akses Pendidikan dan Keamanan Pangan Anak Sekolah

TAGGED:Agita Nurfianti DPD RIBBPOM BandungBuruan Saecold chain makanan sekolahDinas Kesehatan Jawa BaratDinas Kesehatan KBBDinas Pendidikan Kota Bandungdistribusi aman MBGgizi anak sekolahkeamanan pangan sekolahkeamanan wadah food gradeKLB pangan di sekolahLayak Higiene Sanitasipelatihan sanitasi panganpenjamah makananProgram Makan Bergizi Gratis 2025program makan bergizi gratis di Jawa Baratreformasi MBG nasionalSijempolsinkronisasi data Dapodik KemenagSKHSSLHSTim Gerak Cepat KLBUU Kesehatan No 7 Tahun 2023
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Threads Email Copy Link Print
Share
Previous Article Senator Agita Reses DPD RI di Bojongsoang | Aspirasi Warga Soal DTSN, Pendidikan, Kesehatan & Identitas Lokal Reses DPD RI di Bojongsoang | Aspirasi Warga Soal DTSN, Pendidikan, Kesehatan & Identitas Lokal
Next Article Dialog DPD RI dan BNN ungkap solusi reformasi rehabilitasi narkotika di Jawa Barat untuk penyelamatan korban dan reformasi kebijakan nasional. Dialog DPD RI, BNN, Polrestabes Kota Bandung, dan GRANAT ungkap solusi reformasi rehabilitasi narkotika di Jawa Barat untuk penyelamatan korban dan reformasi kebijakan nasional.
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Stay Connected

2kSubscribersSubscribe
4kFollowersFollow
25FollowersFollow

Latest News

Senator Agita Reses DPD RI di Bojongsoang | Aspirasi Warga Soal DTSN, Pendidikan, Kesehatan & Identitas Lokal
Reses DPD RI di Bojongsoang | Aspirasi Warga Soal DTSN, Pendidikan, Kesehatan & Identitas Lokal
Aspirasi Warga Oktober 7, 2025
Senator Agita Serahkan Bantuan untuk Dukung Pemulihan Korban NAPZA
Press Release Oktober 7, 2025
Pertemuan warga RW 16 Bilabong, Kabupaten Bogor bersama Agita Nurfianti, S.Psi (DPD RI, Komite III)
Forum Dengar Pendapat RW 16 Komplek Perumahan Bilabong dengan Ibu Agita Nurfianti, S.Psi. (DPD RI, Komite 3)
Aspirasi Warga Oktober 5, 2025
SPMB 2025 & Revisi RUU Sisdiknas: Aspirasi Agita Nurfianti & Respons Kemendikdasmen
Rapat Kerja September 30, 2025
PaparanMenteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bapak Abdul Mu'ti terkait Sistem Penerimaan Murid Baru dan Revisi UU Sisdiknas
Paparan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bapak Abdul Mu’ti terkait Sistem Penerimaan Murid Baru dan Revisi UU Sisdiknas
Rapat Kerja September 30, 2025
Waktunya Mepet, Senator Agita Sampaikan Aspirasi Daerah Terkait SPMB ke Kemendikdasmen
Press Release September 29, 2025
Paparan Kepala Badan POM Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., MD., Ph.D kepada Komite III DPD RI
Rapat Kerja September 26, 2025
Pemaparan Wamensos Agus Jabo Priyono Dorong Sekolah Rakyat di Daerah untuk Hapus Kemiskinan Ekstrem
Rapat Kerja September 24, 2025
Kesalahan Data Sebabkan Bansos Salah Sasaran, Senator Agita Minta Perbaiki Akurasi Data
Press Release September 23, 2025
Paparan Wakil Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Wakil Kepala BPS RI, Sonny Harry Budiutomo Harmadi kepada Komite III DPD RI terkait kebijakan penunggalan data sosial ekonomi nasional (DTSEN)
Rapat Kerja September 22, 2025
Agita NurfiantiAgita Nurfianti
Follow US
© 2023-2029 Agita Nurfianti, DPD RI Jawa Barat.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?