Laporan ini disusun berdasarkan analisis data kualitatif dari serangkaian dialog yang terjadi dalam pertemuan reses anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Ibu Agita Nurfianti, dengan warga dan pengurus kewilayahan RW 04, Kelurahan Bojongsoang. Pertemuan ini bertujuan untuk menyerap aspirasi dan mengidentifikasi permasalahan substantif yang dihadapi masyarakat untuk ditindaklanjuti di tingkat perumusan kebijakan nasional. Ibu Agita Nurfianti, dalam kapasitasnya sebagai anggota Komite III DPD RI yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (KESRA)—mencakup pendidikan, kesehatan, sosial, agama, pemuda, dan olahraga—memfasilitasi dialog yang mengungkap berbagai tantangan, mulai dari model pembangunan lokal hingga problematika sistemik kebijakan pemerintah pusat. Dalam pertemuan ini, informasi paling komprehensif dan terstruktur dipaparkan oleh Ketua RW 04, Bapak Iwan, dan Sekretaris RW, Bapak Jarun, yang mengartikulasikan dinamika, inisiatif, dan kendala di tingkat komunitas secara mendalam.
Model Pembangunan Partisipatif dan Resiliensi Komunitas Lokal
Bapak Iwan, selaku Ketua RW 04, memaparkan sebuah model pembangunan komunitas yang proaktif dan partisipatif, yang diimplementasikan melalui mekanisme musyawarah warga dalam format Focus Group Discussion (FGD) di tingkat Rukun Tetangga (RT). Pendekatan ini bertujuan untuk memetakan persoalan sekaligus potensi yang ada di masyarakat secara langsung (bottom-up).

Implementasi model ini menandai adanya pergeseran paradigma dari yang sebelumnya cenderung berorientasi pada pembangunan infrastruktur fisik, kini bergerak ke arah yang lebih holistik dengan mengakomodasi program pemberdayaan sosial. Secara khusus, ditekankan pentingnya peran serta kaum perempuan dalam setiap forum diskusi untuk memastikan kebutuhan spesifik mereka terakomodasi dalam dokumen perencanaan RW. Dari proses ini, lahir beberapa program konkret yang relevan, seperti pelatihan keterampilan menjahit, kelas memasak, dan pelatihan mitigasi bencana.
Meskipun memiliki perencanaan yang matang, Bapak Iwan menyoroti adanya tantangan signifikan ketika usulan tersebut diajukan ke tingkat pemerintahan desa, di mana program non-fisik sering kali tidak mendapatkan alokasi anggaran. Sebagai studi kasus, pada tahun 2024, usulan masyarakat untuk program sosialisasi kesehatan tidak dapat direalisasikan karena ketiadaan sumber pendanaan dari desa. Menghadapi kendala ini, kepengurusan RW 04 menunjukkan resiliensi dengan mencari solusi mandiri melalui kemitraan strategis dengan pihak swasta, yaitu Apotek Indah Jaya, untuk meluncurkan program “Kesehatan Warga” berupa layanan pengecekan kesehatan gratis setiap bulan. Inisiatif ini menjadi preseden penting yang menunjukkan kapasitas komunitas dalam mengatasi keterbatasan akses terhadap sumber daya pemerintah melalui kolaborasi dan kemandirian.
Problematika Data Kesejahteraan Sosial dan Implikasinya
Isu sentral yang paling dominan dalam dialog adalah terkait validitas dan transparansi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang kini bertransisi menjadi sistem baru yang disebut sebagai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Nasional (DTSN).
Ibu Agita menjelaskan bahwa perubahan ini menjadi penyebab utama penonaktifan massal kepesertaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK). Perbedaan fundamental antara kedua sistem terletak pada cakupan data; jika DTKS hanya menjaring penduduk kurang mampu, DTSN mencakup seluruh warga negara yang diklasifikasikan ke dalam sepuluh tingkatan kesejahteraan atau “desil”.
Kelayakan menerima bantuan ditentukan oleh posisi dalam desil ini, di mana rentang desil 1 hingga 5 umumnya dikategorikan sebagai pihak yang berhak, meskipun setiap program memiliki batas desil yang berbeda. Misalnya, PBI-JK hanya mencakup desil 1 hingga 4.
Proses pemutakhiran data yang idealnya dilakukan setiap tiga bulan sekali ini menimbulkan kebingungan dan frustrasi di tingkat masyarakat. Keluhan ini disuarakan oleh seorang warga yang mempertanyakan akurasi data sensus yang menyebabkan bantuan tidak tepat sasaran, di mana kelompok rentan seperti lanjut usia (lansia) terabaikan.
Masalah ini diperkuat oleh testimoni Bapak Komarudin dari RT 6, yang mengalami kesulitan beralih dari BPJS Mandiri ke PBI karena datanya tidak ditanggapi oleh pihak desa, sehingga ia merasa seperti dilempar tanggung jawab.
Dilema ini secara tajam diartikulasikan oleh Riki, Ketua RT 02, yang menyoroti posisi sulit para ketua RT sebagai garda terdepan. Mereka tidak memiliki akses terhadap informasi atau modul definisi yang terstruktur mengenai kriteria setiap tingkatan desil, sehingga tidak mampu memberikan penjelasan memadai kepada warga.
Kondisi ini diperparah oleh kesaksian Bapak Fajar, yang menyatakan bahwa saat verifikasi ke kantor desa, warga hanya diberi tahu nomor desil mereka tanpa penjelasan rinci mengenai parameter yang mendasarinya.
Kurangnya sosialisasi ini menciptakan disinformasi dan mereduksi kepercayaan publik. Lebih lanjut, narasumber menegaskan bahwa faktor-faktor perilaku seperti keterlibatan dalam judi online, memiliki cicilan konsumtif, atau pengeluaran untuk top-up game online dalam satu Kartu Keluarga (KK) dapat memengaruhi kelayakan bantuan, yang semakin menambah kompleksitas kriteria yang tidak dipahami masyarakat.
Aspirasi Sektor Pendidikan, Kesehatan, dan Lingkungan
Dalam sektor pendidikan, dialog mengemukakan permasalahan pada dua level: program bantuan dan akses infrastruktur.
Terkait Program Indonesia Pintar (PIP), Ibu Yuli Yulianti dari RT01 menyoroti penyaluran yang dirasa tidak merata dan kurangnya kualifikasi ulang penerima dari tahun ke tahun. Narasumber menjelaskan bahwa sumber PIP beragam, bisa dari alokasi sekolah maupun kuota aspirasi anggota legislatif, namun pengajuannya tetap memerlukan verifikasi akhir dari pihak sekolah.
Untuk jenjang pendidikan tinggi, Bapak Ahmad Shalihin, seorang Ketua RT 03, mempertanyakan kriteria pengajuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, khususnya terkait status pekerjaan orang tua. Dijelaskan bahwa status pekerjaan (karyawan swasta atau buruh harian lepas) bukanlah faktor eliminasi, melainkan tingkat penghasilan keluarga yang dibuktikan dengan surat keterangan berpenghasilan di bawah Rp 4 juta per bulan.
Pada level infrastruktur, Bapak Fajar, Sekretaris RW 04 memaparkan kendala terbatasnya akses terhadap Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Desa Bojongsoang. Meskipun dekat dengan SMA Negeri 1 Dayeuhkolot, sistem zonasi menimbulkan kekhawatiran tidak diterima, sementara alternatif lain dianggap terlalu jauh.
Keterbatasan ini dikhawatirkan berdampak pada rendahnya keterampilan tenaga kerja pemuda. Oleh karena itu, diusulkan pembangunan unit sekolah baru di wilayah tersebut. Menanggapi ini, narasumber menyarankan program Sekolah Rakyat sebagai alternatif bagi keluarga miskin ekstrem (desil 1-2), di mana seluruh kebutuhan siswa ditanggung pemerintah melalui sistem asrama.
Di sektor kesehatan, selain isu PBI-JK, diharapkan adanya keterbukaan informasi dari dinas terkait mengenai prosedur peralihan status BPJS agar masyarakat dapat mengaksesnya secara mandiri dan mengurangi beban informasional pengurus RT/RW.
Sementara itu, isu lingkungan mengenai bencana banjir tahunan yang rutin melanda juga diangkat, di mana warga memohon adanya upaya normalisasi sungai. Aspirasi ini dicatat untuk diteruskan kepada Komite 2 DPD RI yang membidangi infrastruktur.
Penguatan Identitas Lokal Melalui Warisan Sejarah
Sebuah aspirasi unik dan signifikan yang disampaikan oleh Bapak Jarun adalah mengenai penguatan identitas historis Desa Bojongsoang. Beliau mengungkapkan fakta bahwa pahlawan nasional, Otto Iskandardinata, lahir di Bojongsoang sekitar tahun 1892 dan pernah menjabat sebagai kepala desa setempat. Ironisnya, tidak ada satu pun penanda identitas—seperti monumen atau nama jalan—di Bojongsoang yang merefleksikan fakta sejarah ini, berbeda dengan kota-kota lain. Aspirasi ini bertujuan membangun sebuah penanda fisik untuk menumbuhkan kebanggaan lokal dan menularkan semangat perjuangan sang pahlawan kepada generasi muda.
Menanggapi seluruh masukan tersebut, Ibu Agita Nurfianti, bersama anggota DPD RI lainnya dari Provinsi Jawa Barat (Pak Alfian Syakomeng, Ibu Anya Rina, dan Ibu Jihan Fahira), berkomitmen untuk mengawal aspirasi tersebut. Seluruh isu yang terdokumentasi, baik yang disampaikan secara lisan maupun yang akan disusulkan secara tertulis melalui pengurus RW, akan dibawa ke dalam rapat kerja dengan kementerian dan lembaga pemerintah terkait di Senayan sebagai bahan advokasi untuk perumusan kebijakan yang lebih efektif dan tepat sasaran.