Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) pada Selasa (23/9) menggelar dua rapat kerja sekaligus, yakni dengan Kementerian Sosial serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan tersebut, Anggota Komite III DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Barat Agita Nurfianti menyampaikan sejumlah perhatian penting terkait perlindungan hak pendidikan anak dari keluarga tidak mampu serta pengawasan keamanan pangan di lingkungan sekolah.
Pada rapat kerja dengan Kementerian Sosial, Agita menyoroti mekanisme pemutakhiran data penerima manfaat program Sekolah Rakyat yang berbasis desil kesejahteraan. Ia mempertanyakan bagaimana nasib peserta didik ketika terjadi perubahan status desil di tengah tahun ajaran.
“Untuk sekolah rakyat itu kan dari Desil 1 dan 2. Sedangkan pemutakhiran data dilakukan setiap tiga bulan sekali, sementara tahun ajaran sekolah berlangsung satu tahun. Yang saya ingin soroti bagaimana jika ada perubahan desil, misalnya dari 1–2 naik menjadi 3–4, apakah anak ini otomatis akan dikeluarkan dari sekolah rakyat? Begitu juga sebaliknya, jika dari Desil 3–4 turun ke Desil 1–2, apakah bisa langsung masuk di tengah tahun ajaran?” ujar Agita.
Agita menegaskan bahwa keberlangsungan pendidikan anak tidak seharusnya terganggu oleh fluktuasi status sosial ekonomi keluarga dalam jangka pendek.
“Menurut pendapat saya sebaiknya anak-anak yang sudah masuk sekolah rakyat meski kemudian naik desil tetap diberikan kesempatan menyelesaikan jenjang pendidikannya hingga tuntas. Jangan diberhentikan di tengah jalan. Mereka bisa tetap di sekolah rakyat hingga lulus SD 6 tahun, SMP 3 tahun, dan SMA 3 tahun. Hal ini akan lebih berdampak baik dan membangun ikatan pendidikan yang kuat bagi anak-anak kita,” tegasnya.
Sementara itu, pada rapat kerja dengan BPOM, Agita menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap jajanan anak sekolah. Ia mendorong agar edukasi keamanan pangan dimulai sejak dini, melalui sosialisasi langsung kepada anak-anak.
“Sosialisasi BPOM ini bisa dimulai dari anak-anak sekolah, terutama tentang bagaimana memilih jajanan, memahami efek kandungan makanan, dan dampaknya bagi kesehatan. Mulai dari tingkat SD sosialisasi ini sudah harus dilakukan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Agita menekankan perlunya pengawasan bukan hanya pada anak-anak, tetapi juga terhadap kantin sekolah dan jajanan yang dijual di sekitar sekolah. Ia mengungkapkan temuannya di Jawa Barat saat reses, dimana masih banyak kantin sekolah yang menjual minuman berpemanis buatan, makanan tanpa label kandungan, hingga produk dengan kemasan mencolok namun tidak jelas isi dan bahan pembuatnya.
“Di Jawa Barat memang sudah ada imbauan agar kantin sekolah hanya menjual jajanan sehat. Namun, pada praktiknya tetap banyak yang menjual minuman dengan pemanis buatan, bahkan ada jajanan yang tidak berlabel. Anak-anak cenderung penasaran membeli karena bentuk dan kemasannya menarik, padahal isinya tidak jelas. Ini sangat berbahaya,”* jelasnya.
“Seperti minuman berbentuk semprotan bagi anak-anak itu kan hal yang aneh, mereka tertarik untuk membeli tapi itu isinya apa? Minuman disemprot rasanya manis, entah apa kandungannya manisnya dari apa dan warnanya juga mencolok. Selain itu juga makanan yang mengandung penguat rasa, tetap banyak beredar,” tambahnya.
Agita menegaskan perlunya pengawasan rutin dan intensif dari BPOM bersama dinas terkait agar anak-anak tidak menjadi korban jajanan berbahaya.
“Yang menjadi perhatian bagaimana ini bisa diawasi lebih intens lagi. Harus ada kontrol berkala, jangan sampai anak-anak kita kecolongan. Keamanan pangan di sekolah harus menjadi perhatian serius, karena ini menyangkut generasi masa depan bangsa,” tutupnya.