Pertemuan resmi di kantor NPCI Kota Bandung mempertemukan pengurus PPDI Kota Bandung, atlet, pelatih, dan komunitas disabilitas dengan Agita Nurfianti, anggota DPD RI dari Jawa Barat, Komite III (kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, UMKM, literasi, pemuda dan olahraga). Agenda terfokus pada konsolidasi aspirasi untuk materi reses terkait disabilitas, dengan rencana rapat Agita bersama Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, dan dinas terkait pada hari Kamis atau Senin (tanggal tidak disebut).
Konten utama percakapan menyoroti ketimpangan antara kerangka regulatif yang relatif lengkap (Perda Disabilitas Jawa Barat 2013 yang diperbarui 2023; Perda Kota Bandung; dan amanat UU No. 8/2016 tentang 23 hak penyandang disabilitas) versus implementasi yang lemah. Isu aksesibilitas dominan: halte dan trotoar tidak ramah kursi roda; jalur taktil yang tidak berkesinambungan dan terhalang tiang/pohon; bangunan publik dan rumah ibadah (contoh PUSDAI dan Masjid Raya Alun-Alun) belum akses wudhu; serta minimnya signage ramah pengguna tuli di fasilitas publik. Kontrasnya, beberapa institusi mulai berbenah, seperti Gedung Pakuan yang sudah menyediakan ram, dan RS Cicendo yang mempekerjakan petugas berkompetensi bahasa isyarat—dua praktik baik yang layak direplikasi.
Aspirasi ketenagakerjaan menekankan dua hal: pertama, lemahnya realisasi kuota minimal pekerja disabilitas (umumnya 1% di perusahaan dan lebih tinggi di BUMN/BUMD), disertai ketiadaan data akurat pekerja disabilitas; kedua, pelatihan yang dangkal dan repetitif (1–2 hari), tanpa penyaluran kerja atau dukungan alat, sehingga tidak berujung pada kemandirian ekonomi. Kasus praktis yang diangkat termasuk merosotnya usaha pijat disabilitas akibat kompetisi layanan pijat daring dan praktik ilegal “plus”, serta hilangnya pusat pendidikan nonformal keterampilan pijat yang sebelumnya menjadi tumpuan. Di sisi UMKM, peserta meminta dinas koperasi dan program CSR mall untuk menyediakan ruang sewa dan workshop bagi pelaku usaha disabilitas (contoh produk rajutan Ibu Linda dan kerajinan lain).
Dimensi perlindungan hukum muncul kuat melalui kasus pemerkosaan berat terhadap perempuan tuli (23 tahun), diduga dilakukan oleh 9 pelaku pada Oktober (tahun tidak disebut), dengan status kehamilan 6 bulan berdasarkan pendampingan TP2A. Meski sempat mendapatkan atensi dari pejabat seperti Ibu Atalia dan anggota DPRD Kota Bandung, perkembangan perkara di Polda Jabar dilaporkan tidak signifikan. Komunitas mendesak penegakan hukum tegas untuk efek jera, seraya menyatakan bahwa abainya sanksi terhadap bangunan tidak aksesibel menunjukkan rendahnya komitmen implementasi.
Agita menyatakan komitmen untuk mengagendakan seluruh aspirasi ke rapat dinas selama reses dan ke forum kementerian di Senayan, serta menguatkan urgensi pembenahan akses jalan berdasarkan observasi langsungnya di Kota Bandung (trotoar tidak rata, jalur taktil mentok tiang, kursi roda sulit bergerak). Ia juga membuka peluang kolaborasi dengan UMKM untuk mempermudah akses usaha disabilitas, menautkan pengalaman melihat karya disabilitas di Jalan Pahlawan.
Dari dinamika percakapan, informasi paling relevan berasal dari pengantar substantif Speaker 4 yang memetakan kerangka regulatif, contoh kasus implementasi dan praktik baik/buruk, jejaring aktor (PPDI, NPCI, Komnas Disabilitas, dinas lintas sektor), serta isu hukum pidana yang mendesak. Agita sebagai pejabat kunci mengonfirmasi rencana tindak lanjut formal melalui mekanisme reses dan lintas kementerian.
Secara keseluruhan, pertemuan ini mengartikulasikan kebutuhan strategis: penegakan dan harmonisasi regulasi lintas sektor; audit aksesibilitas fisik kota (halte, trotoar, rumah ibadah, gedung publik); sistem data dan pengawasan kuota kerja disabilitas; desain pelatihan berbasis kompetensi dengan penempatan kerja dan dukungan alat; integrasi program UMKM/Koperasi dan CSR untuk pemberdayaan ekonomi; serta advokasi hukum bagi korban kekerasan disabilitas dengan pemantauan perkara di Polda Jabar. Rekomendasi implisit adalah penguatan koordinasi dinas, pelibatan Komnas Disabilitas dan komunitas pengguna dalam perencanaan, serta pemanfaatan reses legislator sebagai kanal kebijakan dan akuntabilitas, dengan indikator terukur pada akses, pekerjaan, perlindungan, dan partisipasi sosial penyandang disabilitas di Kota Bandung dan Jawa Barat.