Saat almarhum Pak Ujo masih ada, para pengrajin angklung menjadi tulang punggung Saung Angklung Udjo, salah satu destinasi budaya paling dikenal di Jawa Barat. Produk-produk mereka, dengan kualitas seni yang tinggi, mengalir ke sana tanpa henti.
Namun, seperti pepatah mengatakan, zaman berubah, dan begitu pula jalan hidup manusia. Pandemi COVID-19 yang membatasi kegiatan budaya dan wisata berdampak tinggi kepada pengrajin angklung, kini hanya sebagian kecil pengrajin yang masih menjual ke Saung Angklung Udjo, permintaan dari saung pun menurun dan para pengrajin angklung yang tadinya menjadi supplier mulai memproduksi sendiri dan menjual produknya sendiri.
Kemajuan teknologi membawa dunia ke genggaman, memperkenalkan toko daring yang memungkinkan para pengrajin menjual produk mereka langsung ke konsumen. Meski ini membuka peluang baru, tak sedikit tantangan yang muncul.
Menjual secara online pun tak sepenuhnya mudah. Para pengrajin sering menghadapi persaingan harga yang tidak sehat. Beberapa pihak menawarkan angklung murah dengan kualitas yang dipertanyakan, merugikan pengrajin yang menjaga standar seni dan kualitasnya. “Kami selalu menjaga kualitas, tapi persaingan harga yang tidak adil ini membuat kami sulit bertahan,” keluh salah satu pengrajin.
Kampung Angklung memiliki potensi besar, yang telah diakui oleh dinas pariwisata dan budaya setempat. Namun, hingga kini, belum ada wadah pemasaran terpadu seperti merek resmi yang dapat mewakili kualitas dan keunikan kampung ini. “Kami berharap pemerintah menyediakan lahan untuk galeri atau sanggar khusus yang bisa menjadi pusat promosi produk angklung,” ujar Pak RW. Ia menambahkan, langkah ini penting agar Kampung Angklung semakin dikenal, tidak hanya secara lokal tetapi juga di tingkat nasional dan internasional.
Proses pembuatan angklung yang panjang menjadi tantangan lain. Dari pemilihan bahan baku hingga pengerjaan akhir, semua dilakukan dengan teliti untuk menjaga kualitas seni. Namun, peralatan tradisional sering kali membatasi kapasitas produksi.
Pengrajin seperti Pak Suge berharap pemerintah dapat membantu menyediakan mesin modern, seperti mesin cutting, bubut, paku tembak, dan pengering. Dengan alat ini, mereka dapat memenuhi pesanan dalam jumlah besar tanpa mengorbankan kualitas.
Lebih jauh lagi, harapan besar datang dari masyarakat setempat untuk melestarikan angklung melalui jalur pendidikan. “Kami ingin angklung dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, dari SD hingga menengah, agar generasi muda tetap mengenal seni ini,” ujar seorang pengrajin dengan topi merah.
Meski banyak tantangan, Kampung Angklung tetap berdiri dengan semangat tinggi. Dengan dukungan pemerintah, baik dalam bentuk permodalan, pemasaran, maupun pelestarian budaya, para pengrajin berharap angklung tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi simbol kebanggaan daerah. Angklung, dengan suara merdunya, tidak hanya mencerminkan harmoni musik tetapi juga perjuangan dan cinta akan budaya.