Pertemuan warga RW 16 Komplek Perumahan Bilabong, Kabupaten Bogor, dengan Ibu Agita Nurfianti, S.Psi., anggota DPD RI dapil Jawa Barat periode 2004–2009 yang kini duduk di Komite 3 (membidangi pendidikan, kesehatan, sosial, agama, kebudayaan, pariwisata, kesejahteraan sosial, dan literasi), berlangsung sebagai forum dengar pendapat yang memfasilitasi aspirasi pengurus RT/RW dan warga.
Acara dibuka secara seremonial dengan sapaan religius dan pengantar kelembagaan yang menegaskan posisi DPD sebagai bagian dari MPR, bersama DPR, serta menyebut perwakilan DPD Jawa Barat lain seperti Komeng, Jihan Fahira, dan Anya. Ketua RW 16, Pak Herman, dan Ketua RT 1,2,3,4 beserta jajaran turut hadir. Dalam pengantar, narasumber menekankan pentingnya penyaluran aspirasi lintas sektor agar dapat dibahas dalam rapat rutin dengan kementerian, lembaga, serta Pemda (Pemprov, Pemkab, Pemkot), mengingat Komite 3 berfungsi sebagai kanal kebijakan di bidang layanan publik non-infrastruktur.
Secara substantif, percakapan berporos pada dua tokoh utama: Ibu Agita sebagai narasumber kebijakan sektor sosial, pendidikan, dan kesehatan; serta perwakilan RW/RT dan warga sebagai penyampai kendala lapangan.
Isu dominan yang diangkat adalah hambatan struktural akses layanan dasar akibat status administratif wilayah perumahan Bilabong yang “belum diserahkan” dari pengembang (developer) kepada Pemerintah Daerah.
Konsekuensi langsung dari belum adanya serah-terima aset membuat desa dan kecamatan menolak atau menahan pengajuan bantuan infrastruktur dan program sosial karena wilayah RW 16 tidak tercantum dalam basis data Pemda, menimbulkan risiko sanksi bagi perangkat desa bila menyalurkan dukungan tanpa landasan legal.
Warga mengeluhkan bahwa partisipasi dalam Musrenbang menjadi tidak bermakna karena RT/RW tidak dapat mengajukan usulan secara formal.
Mereka menilai regulasi masa tunggu serah-terima perumahan—yang semula disebut 25 tahun dan kini disebut 15 tahun menurut informasi lapangan—tidak rasional dalam konteks kebutuhan layanan dasar, sehingga diusulkan kriteria berbasis persentase hunian terisi sebagai syarat percepatan alih kelola.
Warga juga menyoroti lemahnya pengawasan tata ruang dan ketaatan developer pada kewajiban penyerahan utilitas publik (jalan, penerangan, pasum), yang berimplikasi pada tunggakan IPL, rusaknya jalan utama dan lingkungan, serta absennya penerangan jalan.
Di satu kasus, warga secara swadaya membangun separuh dari 240 meter jalan dengan sisa dana Rp4 juta, namun kebutuhan masih besar dan terbentur syarat teknis serta kewenangan yang tidak terpenuhi oleh developer.
Pada ranah perlindungan sosial, warga menilai parameter kemiskinan pemerintah “ngaco” atau tidak kontekstual, misalnya indikator rumah beralaskan tanah dan dinding bambu, yang tidak merepresentasikan kerentanan aktual di perumahan permanen pasca COVID-19.
Dampaknya, warga perumahan yang tidak mampu tersisih dari bansos dan program bedah rumah (muti lahut), meski faktual terdapat banyak rumah tidak layak huni (dinding diganti seadanya, asbes, bahkan nyaris roboh).
Warga meminta peninjauan ulang klasifikasi kemiskinan dengan standar yang tegas serta pembaruan data DTKS/DTSE yang inklusif bagi penghuni perumahan berpendapatan rendah, termasuk mereka yang berstatus ngontrak atau menumpang.
Diskusi tentang PKH mengemuka terkait lansia dalam satu kartu keluarga (KK) yang memiliki anggota bekerja, sehingga bantuan terputus meski kebutuhan lansia tinggi.
Warga menuntut penjelasan aturan yang komunikatif dan sensitif terhadap rumah tangga multigenerasi, agar perangkat RT/RW sebagai garda terdepan tidak menanggung tekanan sosial ketika verifikasi tidak fleksibel.
Narasumber mengakui adanya rencana perbaikan kebijakan pendataan dan membuka peluang penyesuaian komposisi KK dalam verifikasi agar lansia berhak tetap terlayani.
Isu layanan kesehatan dan keselamatan publik dipaparkan rinci oleh pengurus RW/RT: kebutuhan ambulans untuk cakupan blok G RW 16 yang luas dan overlay administrasi RW dengan PBB tidak presisi; kebutuhan kursi roda untuk lansia dan warga sakit; tambahan tabung oksigen portable (saat ini baru tersedia satu unit, diusulkan tambahan dua hingga empat unit) mengingat tingginya kasus sesak napas dan kegawatdaruratan (terdapat warga koma); serta Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang memadai dan aman per gang, mengingat insiden kebakaran kecil berulang akibat korsleting listrik di RT 4.
Warga menekankan pentingnya spesifikasi APAR yang sesuai jenis kebakaran agar tidak terjadi kecelakaan fatal, menyebut pengalaman buruk APAR meledak.
Selain itu, posyandu masih “numpang” karena syarat bukti kepemilikan lahan (sertifikat/wakaf) belum terpenuhi; status fasum tidak jelas; dan masjid di atas fasum belum memiliki penetapan wakaf maupun registrasi resmi di Kementerian Agama, sehingga TPA kesulitan akses bantuan.
Dalam konteks tata kelola lokal, mayoritas RT tidak memiliki perangkat administrasi dasar (komputer) untuk layanan surat keterangan domisili, pengantar, keterangan tidak mampu, dan BPJS; warga meminta alokasi perangkat dan sistem administrasi dari Pemda untuk efisiensi layanan.
Pada aspek pendidikan, Ibu Agita menjelaskan bahwa Program Indonesia Pintar (PIP) untuk jenjang SD, SMP, SMA/SMK sederajat berada di bawah Kemendikdasmen (Kemendikbud) dan sedang menunggu pembukaan kembali.
Pengajuan dapat difasilitasi melalui Ibu Sinta (Staff Ibu Agita) dengan persyaratan data sederhana (nama, sekolah, dan data dasar lain).
Untuk tingkat perguruan tinggi, terdapat skema bantuan KIPK yang dibuka setahun sekali dengan ketentuan penerima berdomisili dan ber-KTP Jawa Barat, sementara lokasi kampus boleh di luar Jawa Barat (misalnya Jakarta atau Banten). Kriteria penting adalah calon mahasiswa belum pernah kuliah sebelumnya; lulusan tahun 2024, 2025, atau 2026 yang belum memulai studi masih dapat diajukan saat pembukaan berikutnya.
Terkait KIP Kuliah, disebut bahwa periode pembukaan umumnya dua kali setahun dan ada kabar akan dibuka kembali pada September; KIP menanggung uang kuliah per semester hingga delapan semester (empat tahun tepat waktu) serta memberikan uang saku, tetapi tidak mencakup biaya praktikum atau kegiatan seperti KKN, sehingga penerima perlu mengalokasikan uang saku untuk kebutuhan tersebut.
Warga juga menyoroti rendahnya literasi informasi terkait jadwal dan persyaratan KIP, meminta saluran komunikasi yang lebih proaktif melalui kader PKK, posyandu, PAUD, dan DKM.
Dalam ranah ketenagakerjaan dan pengembangan SDM, forum mengusulkan optimalisasi program penempatan kerja luar negeri—misalnya ke Jepang, termasuk sektor pertanian—dengan fokus pada lulusan SMK di Jawa Barat, khususnya Bogor.
Ditekankan perlunya sosialisasi intensif untuk mengurangi pengangguran dan mendukung transisi karir remaja.
Pada isu kebudayaan dan ketertiban, warga mendorong kolaborasi dengan aparat kepolisian, Bimas, dan Linmas untuk pencegahan tawuran, narkoba, dan perilaku menyimpang, serta peningkatan budaya keselamatan kerja berbasis pengetahuan, mengingat banyak insiden viral akibat praktik kerja yang ceroboh.
Penyelenggara juga meminta akses informasi dan keterlibatan RW 16 dalam event ekonomi seperti bazar, serta menyebut potensi usaha lokal (misalnya LKM dengan produk unggulan nasi gudeg yang berjualan rutin di Bundaran Pinus), sebagai langkah penguatan ekonomi komunitas.
Secara sintesis, inti persoalan yang dihadapi RW 16 Bilabong bersifat administratif dan regulatif terkait status aset perumahan yang belum diserahkan ke Pemda.
Hal ini memicu eksklusi akses terhadap layanan dasar, bantuan sosial, dan pengembangan fasilitas komunitas, sekaligus menempatkan perangkat RT/RW pada posisi rawan secara sosial dan operasional.
Di sisi kebijakan sektor, isu implementasi BPJS Kesehatan gratis di tingkat kecamatan/kabupaten dinilai berantakan dan minim pengawasan; kebijakan zonasi pendidikan diusulkan ditinjau kembali; dan pengawasan terhadap kualitas rumah subsidi serta kepatuhan developer dianggap lemah.
Rekomendasi warga kepada Ibu Agita sebagai anggota DPD RI meliputi fasilitasi percepatan serah-terima aset Bilabong ke Pemda melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga; penataan ulang kriteria kemiskinan dan pembaruan data DTKS/DTSE agar inklusif; penguatan kapasitas RT/RW melalui dukungan perangkat administrasi; penyediaan sarana kesehatan dan keselamatan (ambulans, kursi roda, oksigen, APAR) berbasis kebutuhan; serta perluasan sosialisasi dan akses program ketenagakerjaan, pendidikan, dan kebudayaan.
Narasumber menegaskan komitmen untuk menampung seluruh aspirasi, menyalurkannya ke komite terkait—termasuk Komite 2 untuk isu infrastruktur—dan mengupayakan tindak lanjut kelembagaan.
Acara ditutup dengan ucapan terima kasih atas silaturahmi dan penyampaian aspirasi, serta dokumentasi foto bersama, dengan harapan semua usulan memperoleh jalan penyelesaian terbaik tanpa menunda aspek layanan yang masih bisa ditangani meski serah-terima aset belum tuntas.