Laporan ini melibatkan beberapa narasumber, termasuk Agita Nurfianti sebagai anggota DPD Provinsi Jawa Barat, serta beberapa orang tua siswa dan operator sekolah. Diskusi berfokus pada pelaksanaan dan kendala Program Indonesia Pintar (PIP) di lingkungan sekolah, khususnya di wilayah Jawa Barat, dengan penekanan pada perbedaan antara sekolah negeri dan swasta, serta mekanisme pengajuan dan pencairan dana bantuan pendidikan.
Seorang narasumber dari DPD menjelaskan bahwa PIP dapat diajukan melalui dua jalur, yakni dari sekolah dan dari anggota legislatif (DPD/DPR RI). Kuota penerima PIP dari sekolah terbatas, sehingga pengajuan melalui anggota dewan menjadi alternatif bagi siswa yang belum terakomodasi. Data pokok pendidikan (Dapodik) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan penerima bantuan, dengan kategori pendapatan keluarga sebagai parameter utama. Siswa dari keluarga dengan pendapatan di bawah Rp2 juta per bulan dikategorikan sebagai tidak mampu dan berhak menerima bantuan, sedangkan yang berpendapatan di atas Rp2 juta atau Rp4 juta dianggap mampu dan tidak layak menerima PIP. Nilai bantuan yang disebutkan adalah Rp1,8 juta untuk siswa SMK dan 75% untuk siswa SMP, meskipun detail persentase untuk SMP tidak dijelaskan lebih lanjut.
Proses pencairan dana PIP memerlukan aktivasi rekening bank (misalnya BNI) atas nama siswa, yang dilakukan melalui surat aktivasi rerekening dari operator sekolah. Dana akan ditransfer maksimal dua bulan setelah aktivasi, dan status penerima dapat dicek melalui buku tabungan atau ATM. Penting dicatat bahwa siswa yang belum pernah menerima beasiswa sebelumnya akan memiliki status ‘0’ dan berhak menerima bantuan, sementara ada juga siswa yang sudah pernah menerima sebelumnya. Namun, terdapat kendala di lapangan, terutama di sekolah swasta, di mana pihak sekolah seringkali memegang buku tabungan siswa dan melakukan pemotongan dana bantuan dengan alasan menutupi biaya operasional sekolah. Praktik ini menimbulkan kekhawatiran dan intimidasi bagi orang tua dan siswa, serta berpotensi menghambat hak siswa untuk menerima dana secara utuh.
Beberapa orang tua mengeluhkan adanya intimidasi dari pihak sekolah, seperti ancaman administrasi Dapodik bermasalah jika mengambil dana PIP secara mandiri, perlakuan diskriminatif terhadap siswa penerima PIP dari jalur dewan (misalnya disindir untuk datang subuh atau disinggung di depan umum), dan bahkan permintaan biaya atau penyerahan buku tabungan dan ATM kepada pihak sekolah dengan janji pengurusan administrasi hingga ke jenjang kuliah. Hal ini berdampak pada kondisi psikologis siswa, yang merasa tertekan dan tidak nyaman di lingkungan sekolah. Selain itu, proses aktivasi rekening dan pengambilan dana seringkali diwarnai perdebatan dan birokrasi yang berbelit, seperti pengalaman di mana orang tua harus berdebat untuk mendapatkan surat aktivasi atau buku tabungan, sehingga menyulitkan orang tua yang kurang memahami prosedur teknis.
Perbedaan signifikan ditemukan antara sekolah negeri dan swasta. Di sekolah negeri, kasus intimidasi atau intervensi terhadap dana PIP tidak ditemukan, dan dana umumnya diterima langsung oleh siswa tanpa intervensi pihak sekolah. Sedangkan di sekolah swasta, dana seringkali dikelola oleh yayasan dengan orientasi bisnis, sehingga prioritas utama adalah menutupi biaya operasional sekolah sebelum dana diberikan kepada siswa. Praktik ini menimbulkan ketidakadilan dan mengurangi transparansi pengelolaan dana bantuan. Untuk mengatasi kendala ini, disarankan agar orang tua atau siswa mengambil dana langsung ke bank tanpa melibatkan pihak sekolah, memastikan dana diterima secara utuh. Jika ada biaya sekolah, orang tua dapat membayarkannya setelah dana diterima. Hal ini untuk menghindari pemotongan atau pengelolaan dana oleh pihak sekolah yang tidak transparan.
Terkait siswa yang berpindah sekolah, terutama ke madrasah atau pondok pesantren, dana PIP tidak dapat dilanjutkan kecuali jika sekolah baru masih berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Siswa yang berpindah ke madrasah di bawah Kementerian Agama tidak lagi berhak menerima PIP dari jalur pendidikan umum. Ada juga kekhawatiran mengenai sekolah yang tidak menerima siswa pindahan meskipun siswa tersebut memiliki prestasi.
Dalam konteks seleksi penerima bantuan, status DTKS dan desil 1-5 menjadi penentu utama kelayakan, sedangkan desil 6-10 dianggap tidak layak. Perubahan status DTKS dapat diajukan melalui kelurahan atau desa, dengan pendampingan dari petugas setempat. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa pihak sekolah dapat memanipulasi data kelayakan siswa atau status penerimaan bantuan untuk kepentingan tertentu, sehingga diperlukan pengawasan lebih lanjut dari pihak berwenang.
Secara keseluruhan, wawancara ini mengungkapkan bahwa pelaksanaan PIP di lapangan masih menghadapi berbagai kendala administratif, sosial, dan psikologis, terutama di sekolah swasta. Diperlukan transparansi, edukasi, dan pengawasan yang lebih ketat agar dana bantuan pendidikan benar-benar diterima oleh siswa yang berhak, serta perlindungan terhadap hak-hak siswa dan orang tua dari praktik intimidasi dan diskriminasi oleh pihak sekolah. Program bantuan pendidikan seperti PIP harus dijalankan sesuai dengan regulasi yang berlaku, dengan mengutamakan kepentingan siswa dan keluarga penerima manfaat, serta memastikan proses pencairan dana berjalan efisien, adil, dan transparan.