Diskusi utama berfokus pada isu bantuan sosial (bansos) dan penonaktifan PBI-JKN, yang berdampak pada masyarakat. Ibu Hera, PNS Kesehatan DPD, memperkenalkan tim DPD Jawa Barat yang hadir, termasuk Pak Amir dan Pak Kokoh. Ibu Agita menegaskan bahwa pertemuan ini merupakan bagian dari reses Komite 3 untuk menggali informasi terkait pencoretan bansos dan penonaktifan PBI-JKN, serta proses verifikasi dan pendataan ulang yang dilakukan oleh petugas. Pertanyaan yang diajukan meliputi sumber informasi pencoretan, proses verifikasi, upaya reaktivasi, serta dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat.
Randi, staf peksos Kelurahan Malair, menjelaskan bahwa data kemiskinan kini dilebur menjadi DTKSN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional), hasil integrasi REGSOSEK, P3KE, dan DTKS. Kementerian Sosial menerapkan sistem desil (1-10) untuk mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan keluarga, di mana desil 1 sangat miskin dan desil 6 ke atas dianggap menengah ke atas sehingga tidak lagi berhak menerima bansos dan BPJS. Di Kota Bandung, terdapat 28 ribu warga yang dinonaktifkan BPJS-nya, dan proses reaktivasi memerlukan surat keterangan dari puskesmas atau rumah sakit.
Program UHC (Universal Health Coverage) di Bandung dapat membantu warga yang PBI-JKN-nya dinonaktifkan, namun prosesnya masih dirasakan sulit oleh masyarakat.
Yuyu dari Coblong, yang juga mitra BPS Kota Bandung, mengeluhkan ketidaksinkronan data antara P3KE, UMKM, dan DTKS, sehingga banyak warga yang layak bantuan justru dicoret. Proses verifikasi data tidak melibatkan kelurahan, sehingga warga baru mengetahui status nonaktif saat berobat ke puskesmas. Tunggakan BPJS juga menjadi kendala dalam pengajuan UHC, di mana warga miskin kesulitan melunasi tunggakan yang besar.
Keluhan lain disampaikan oleh perwakilan dari Sukamiskin dan Satgas Feri Fadli, yang menyoroti perubahan DTKS menjadi DTSN dan dampaknya terhadap pencairan BPNT serta proses aktivasi BPJS yang semakin sulit. Verifikasi terakhir dilakukan pada bulan Juni, namun data hasil verifikasi belum menjadi acuan bantuan, sehingga banyak lansia dan disabilitas yang belum terakomodasi.
Emma dari Sukajadipaster menyoroti masalah pelayanan UHC di rumah sakit dan puskesmas, di mana pasien sering dipulangkan tanpa tindakan medis meski kondisi darurat, serta perbedaan pelayanan antar rumah sakit. Proses rujukan dari puskesmas juga menyulitkan pasien lansia atau yang tidak bisa berjalan, karena harus datang langsung untuk mendapatkan rujukan.
Ati dari Antapani, pendamping sosial Kementerian Sosial, menjelaskan bahwa penentuan desil dilakukan oleh BPS berdasarkan data hasil ground check dan pemadanan data dari Reksosek, DTKS, dan P3KS. Banyak penerima manfaat yang kini masuk desil 6-10 sehingga bantuannya terhapus, meski mereka masih layak dibantu. Proses usulan pembaruan data dilakukan setiap 3-6 bulan, namun penerima bantuan masih didasarkan pada data lama, menimbulkan kecemburuan sosial.
Elin dari Cibanying Kidul menyoroti masalah pencairan BPNT yang tidak konsisten, di mana warga harus bolak-balik antara kelurahan, Dinsos, dan BNI pusat untuk mengecek status bantuan. Keluhan serupa juga muncul terkait proses verifikasi data yang tidak melibatkan kelurahan dan lambatnya pembaruan data.
Diskusi juga menyinggung perlindungan anak dan perempuan, di mana kader pendamping sering menghadapi intimidasi dari keluarga pelaku dan tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun honor. Kasus kekerasan anak dan perempuan sering mentok di kepolisian, dan pendamping harus menanggung biaya sendiri.
Di bidang pendidikan, perwakilan menyampaikan dampak penerimaan siswa negeri terhadap penurunan jumlah murid di sekolah swasta, serta kesulitan guru honorer dan pegawai sekolah. Proses pendaftaran RMP dan permintaan surat keterangan DTKS untuk jalur afirmasi juga menjadi kendala, karena operator sekolah sering mengarahkan warga ke kelurahan.
Acara ditutup dengan penegasan bahwa semua masukan akan disampaikan dalam rapat kerja dengan Dinsos dan kementerian terkait, serta himbauan agar masyarakat dapat menyampaikan aspirasi secara tertulis ke kantor DPD RI di Jalan Mundinglaya No. 12, Bandung.