Pertemuan silaturahmi di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, menghadirkan warga dari RW 1 dan RW 2, perwakilan RT, Forum Kelurahan, PKK, Karang Taruna, serta perwakilan DPD RI Provinsi Jawa Barat, Agita Nurfianti. Diskusi berlangsung dalam suasana bilingual (Bahasa Indonesia dengan sisipan istilah dan ekspresi Sunda) dan berfokus pada kebijakan pendidikan (PPDB, penahanan ijazah, PIP/DTKS), tata kelola administrasi kependudukan di tingkat RT/RW (domisili vs zonasi, pembaruan data), dukungan UMKM (pelatihan, permodalan, sentra industri), dan layanan kesehatan masyarakat (posyandu, pengendalian DBD/fogging). Narasi berikut mengintegrasikan intervensi yang paling substantif dari Agita Nurfianti sebagai narasumber utama , dengan kontekstualisasi dari Ketua Forum Kelurahan Cibadak, Aris Apandi/Abas (Speaker 2), serta beberapa perangkat warga yang menyampaikan isu operasional di lapangan.
Agita Nurfianti memperkenalkan struktur kelembagaan DPD RI dengan penekanan pada cakupan representasi provinsi: tiap provinsi memiliki empat anggota. Untuk Jawa Barat saat ini terdiri dari Pak Komeng, Ibu Anya, Ibu Jihan, dan Agita Nurfianti. Ia menjelaskan peran DPD dalam pengawasan dan harmonisasi kebijakan pusat–daerah, serta ruang lingkup Komite 3 yang membidangi agama; kebudayaan, seni dan budaya; kesehatan; pendidikan; kesejahteraan sosial; ekonomi kreatif/UMKM; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; serta literasi. Agita menegaskan bahwa DPD bersifat independen (non-partai), berperan dalam proses legislasi bersama DPR hingga pengesahan undang-undang, namun tidak memiliki dana aspirasi; kanal tindak lanjut aspirasi ditempuh melalui koordinasi dengan dinas terkait dan mekanisme APBD di kelurahan. Ia menyebut kantor perwakilan DPD Jawa Barat di Jalan Kusimaya No. 12, dekat Tirtawening, seberang Badak Singa, sebagai titik layanan administratif ketika anggota berada di Jakarta, dengan dukungan staf wilayah.
Pada isu pendidikan, warga menyoroti transisi kebijakan PPDB dari basis zonasi (berdasarkan KK) ke basis domisili. Agita menjelaskan bahwa sistem seleksi pada prinsipnya masih serupa, namun pembuktian domisili menggantikan zonasi berbasis KK. Ia menyampaikan bahwa rincian teknis bukti domisili—apakah berupa surat keterangan RT/RW, kelurahan, atau instrumen lain—masih menunggu pengesahan dan akan disosialisasikan oleh dinas pendidikan pada bulan Mei. Dalam skema baru, jalur prestasi akademik akan ditambah kuotanya, sementara format evaluasi nasional seperti UN/NEM tidak diberlakukan; opsi Tes Kemampuan Akademik (TKA) dipertimbangkan untuk masa mendatang, bukan tahun berjalan. Menanggapi skenario KK di luar daerah (misalnya KK di Semarang, namun anak tinggal dan sekolah di Bandung), Agita menegaskan bahwa domisili merujuk tempat tinggal aktual, sehingga surat domisili menjadi krusial. Diskusi berkembang pada dilema administratif: RT/RW menghadapi permintaan surat domisili dari warga yang tidak tertib lapor pindah atau hanya datang saat ada keperluan (keenakan). Agita menekankan perlunya kebijakan internal RT/RW yang ketat agar surat hanya dikeluarkan bagi warga yang berdomisili nyata dan tertib administrasi, karena ketidakdisiplinan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan akses bantuan dan pendidikan.
Terkait penahanan ijazah, Agita membedakan antara sekolah negeri dan swasta. Di sekolah negeri, penahanan ijazah tidak dibenarkan dan harus dilaporkan ke dinas pendidikan. Di sekolah swasta, penahanan ijazah kerap terkait kewajiban finansial (SPP) atau kasus ketidakhadiran pada semester akhir; penyelesaiannya dianjurkan melalui komunikasi dan negosiasi langsung dengan pihak sekolah, dengan verifikasi faktual terhadap kasus individu. Dalam konteks ketersediaan SMA negeri, warga menegaskan bahwa Kecamatan Astana Anyar belum memiliki SMA negeri, sementara pilihan terdekat mencakup SMA 4 di kecamatan lain dan sejumlah sekolah swasta/kejuruan (misalnya SMK PI Prakarya di bawah yayasan Pelindung Hewan). Agita merujuk informasi dari Kementerian Pendidikan bahwa siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri akan memperoleh dukungan dana untuk bersekolah di swasta setempat, sebagai kebijakan pemerataan dan menjaga keberlangsungan sekolah swasta berbiaya menengah ke bawah yang kerap kekurangan murid.
Dalam ranah bantuan pendidikan, percakapan menyoroti Program Indonesia Pintar (PIP) dan keterkaitannya dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Agita mengklarifikasi bahwa PIP untuk pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) disalurkan langsung ke penerima melalui rekening, bukan melalui sekolah. Sekolah mengelola administrasi dan verifikasi, sementara pencairan kerap terkait bank seperti BNI. Ia membedakan PIP dari KIP Kuliah untuk pendidikan tinggi, mengingat kebingungan istilah di lapangan (termasuk rujukan warga pada “kartu” berwarna ungu). Identifikasi penerima disebutkan oleh warga menggunakan NISN (Nomor Induk Siswa Nasional) atau NIK (Nomor Induk Kependudukan); hal ini menunjukkan perlunya standardisasi sosialisasi teknis agar warga memahami persyaratan, alur pencairan, dan periode manfaat. Warga mengeluhkan ketidakteraturan pencairan PIP, termasuk kasus penerima SD yang hanya sekali menerima selama enam tahun, serta periode manfaat yang “pertahun” atau “tiga tahun sekali” sebagaimana informasi yang beredar. Agita merekomendasikan pemeriksaan status DTKS dan keaktifan data penerima melalui aplikasi PIP atau kanal dinas, serta menyatakan kesediaan menerima data lengkap (nama, nomor identitas) melalui penghubung lokal (disebut “Pak Luki”) untuk ditelusuri lebih lanjut.
Pembaruan data DTKS menjadi isu sentral tata kelola bantuan. Ketua RT/RW menjelaskan bahwa akses aplikasi/link DTKS dibuka periodik setiap bulan dengan jendela waktu terbatas tanggal 1–15, lalu ditutup pada tanggal 16–18 dan dibuka kembali pada periode berikutnya. Mekanisme ini memungkinkan pembaruan data mandiri, termasuk penghapusan data jika sudah tidak memenuhi syarat. Penetapan kelayakan berada pada kewenangan RT/RW dan forum setempat yang mengetahui kondisi faktual keluarga. Prioritas diberikan kepada penghuni asli berdasar KK yang beralamat di wilayah setempat, untuk mencegah kecemburuan sosial akibat penerima “titipan KK” atau pendatang yang tidak berdomisili nyata. Warga mengungkapkan problem keberlanjutan data penerima yang telah meninggal namun tetap “muncul” dalam daftar bantuan karena keluarga tidak melaporkan kematian dan tidak membuat akta kematian. Agita menegaskan bahwa praktik tersebut bertentangan dengan prinsip ketepatan sasaran; data penerima yang meninggal harus dicoret, KK diperbarui, dan akta kematian diproses. Jika ahli waris masih membutuhkan bantuan, pengajuan baru harus dilakukan melalui DTKS dalam periode akses bulanan. Ia juga mengingatkan bahwa perubahan status pekerjaan (dari tidak bekerja menjadi bekerja) harus tercermin dalam pembaruan data agar bantuan seperti PBI Jaminan Kesehatan tepat sasaran dan tidak menghambat warga lain yang berhak.
Pertanyaan mengenai UMKM diajukan oleh warga yang mengidentifikasi pelaku usaha mikro lokal seperti pengrajin boneka (“boneka nipang, pancet, nubut”) dan rencana sentra industri pengolahan kue basah. Agita menyampaikan bahwa isu UMKM sedang masuk agenda masa sidang dan akan dibahas dengan dinas terkait dalam satu hingga dua minggu ke depan. Ia meminta agar kebutuhan konkret—pelatihan, dukungan modal, program pendampingan, serta desain sentra industri—disampaikan secara tertulis untuk dibawa ke rapat dinas dan dirumuskan sebagai rekomendasi kebijakan. Diskusi memunculkan kebingungan di lapangan terkait definisi UMKM yang layak menerima bantuan, termasuk apakah warung kecil atau pedagang gerobak dianggap “tidak termasuk UMKM”. Agita menegaskan perlunya kriteria teknis yang tegas dan inklusif untuk menghindari eksklusi terhadap usaha beraset terbatas, dan menyatakan akan mengonsolidasikan pertanyaan warga menjadi kerangka kategori, dikembalikan dalam bentuk jawaban terstruktur setelah konsultasi kedinasan.
Pada sektor kesehatan masyarakat, pelaksanaan posyandu di RW 2 disebut berjalan rutin dengan jadwal terpisah: balita pada tanggal 7 Januari (pagi) dan lansia pada tanggal 14 Januari (siang), dengan kehadiran puskesmas secara mobile dan terjadwal. Agita menganjurkan pelaporan langsung ke puskesmas jika ada sasaran yang terlewat, serta menyebut kesiapan program lintas dinas untuk mendukung fasilitas PKK seperti timbangan. Diskusi mengenai Demam Berdarah Dengue (DBD) menyoroti praktik fogging yang bersifat reaktif dan terbatas pada rumah kasus, dengan persyaratan minimal dua–tiga rumah terkonfirmasi dan siklus fogging ideal tiga kali yang kerap terputus. Agita menyatakan akan melakukan verifikasi ke dinas terkait mengenai alasan pembatasan radius intervensi, mengingat vektor nyamuk bersifat mobile dan paparan dapat terjadi di luar rumah (sekolah/kantor). Ia membuka opsi agar usulan fogging proaktif dicatat sebagai aspirasi untuk perbaikan tata kelola berbasis risiko.
Secara keseluruhan, wawancara memperlihatkan empat kebutuhan prioritas: konsolidasi kebutuhan UMKM untuk dibawa ke forum dinas dengan kriteria teknis yang inklusif; advokasi pemenuhan layanan pendidikan menengah negeri sekaligus optimalisasi skema subsidi ke swasta bagi siswa yang tidak tertampung; penguatan disiplin administrasi kependudukan dan pembaruan DTKS untuk memastikan ketepatan sasaran bantuan pendidikan dan sosial; serta peningkatan respons kesehatan masyarakat melalui koordinasi posyandu dan tata kelola fogging DBD yang preventif dan berbasis evidensi. Agita Nurfianti memposisikan DPD sebagai kanal aspirasi dan penyeimbang pusat–daerah, dengan komitmen tindak lanjut berbasis data, sementara warga dan perangkat kelurahan menegaskan konteks operasional di lapangan terkait domisili, KK, DTKS, PIP, dan kebutuhan fasilitas pendidikan serta kesehatan. Pertemuan ditutup dengan kesepahaman bahwa sosialisasi teknis PPDB akan dilakukan dinas pendidikan pada bulan Mei, kanal pengaduan dan klarifikasi PIP/DTKS dibuka melalui penghubung lokal, dan DPD RI siap menyalurkan aspirasi warga ke tingkat pusat dengan dukungan data yang akurat.